Holisa Handayani menunjukkan beberapa kerajinan yang dipamerkan dalam salah satu kegiatan di Tanoker |
Setiap
bulan, kerajinan kalung, gelang, dan anting yang dibuat mantan buruh migran ini
selalu dikirim ke luar negeri. Yakni ke Prancis, Tiongkok, Amerika, Swedia,
Inggris, Kostarika, Selandia Baru, Italia, Jepang, Australia, Spanyol, Dubai,
Jerman, Korea, Malaysia dan Thailand.. Siapa mantan tenaga kerja wanita (TKW) itu?
Namanya Holisa
Handayani, akrab disapa Elisa. Dia sedang menjaga kerajinan manik-maniknya di
halaman rumah belajar dan bermain Tanoker. Saat itu, ada pameran produk warga desa
yang dihadiri oleh wakil duta besar Australia untuk Indonesia, Allaster Cox.
“Kerajinan ini
dibuat sendiri, termasuk desainnya,” kata Elisa, menunjukkan aksesori kalung,
gelang, dan anting. Bila diamati, produk miliknya seperti barang mewah. Tak
heran, bisa dipasarkan ke 17 negara.
Kerajinan itu menjadikan
Elisa perempuan yang sukses. Setiap harinya, dia mengelola kerajinan
manik-manik dari kaca. Bila permintaan tinggi, ada 600 warga sekitar yang bekerja.
“Tahun 2015 hingga 2017 ada 600 pekerja perempuan, sekarang 300 orang,”
ucapnya.
Dalam sehari, para
perempuan itu mampu membuat masing-masing 1000 potong kalung dan gelang, serta 500
anting. Bahan kerajinan diambil dari rumah Elisa, lalu dibawa pulang untuk
dikerjakan di rumah para pekerja.
Kesibukan perempuan
lulusan SD ini tak hanya mendesain dan membuat kerajinan. Ia juga memastikan pengiriman
barang ke luar negeri. Tak hanya Asia, namun Eropa hingga Amerika. “Ke Prancis
kirim sebulan tiga kali. Di sana ada tiga pembeli setiap bulannya,” ungkap
perempuan berkerudung ini.
Pengiriman ke
Tiongkok, kata dia, juga dilakukan setiap bulan. Bahkan, dia juga mengirim
sendiri kerajinannya sambil berbelanja bahan berupa batu dan kristal. “Kalau
pengiriman ke Tiongkok, sehari bisa sampai,” akunya.
Berbeda ketika
dikirim ke Eropa atau Amerika, bisa sampai satu minggu. Tak tanggung, nilai
barang yang dikirim cukup besar. Mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.
Biaya pengiriman bergantung pada beratnya barang, mulai dari Rp 6 juta.
“Barang dari Jember
dikirim ke luar negeri lewat Bali,” tuturnya. Kerajinan yang sudah selesai,
ditempatkan di rukonya yang ada di pulau Dewata. Lalu dikirim ke 17 negara.
Begitulah kesibukan perempuan ini. Di balik kesuksesannya, ada perjalanan
panjang yang dihadapi dengan tegar.
Elisa pernah
bekerja menjadi TKW di Malaysia selama tujuh tahun. Sejak 1995 hingga 2002.
Perempuan asal Dusun Sumberlesung Onjur, Desa Sumberlesung, Kecamatan Ledokombo,
ini hanya lulusan SD.
Kala itu, menjadi
TKW merupakan pilihan satu-satunya untuk mengubah nasib. Sulitnya lapangan
kerja di desa membuat dirinya meninggalkan keluarga. Ia berangkat ke Malaysia
menjadi pembantu rumah tangga
Namun, nasib baik belum berpihak kepadanya. Satu tahun bekerja, Elisa tidak digaji oleh sang majikan. Akhirnya, dia melarikan diri. Dia kebingungan hendak ke mana. Tak ada saudara maupun teman yang bisa menolongnya.
Tiba-tiba, ada
seorang sopir yang menghampiri dan membantunya. Menawarkan pekerjaan di sebuah
restoran. Namun, pemilik restoran menolak, karena merupakan seorang
pelarian.
Elisa akhirnya
menyerahkan diri pada polisi di Penang, Malaysia. Dia menginap beberapa malam
di kantor polisi bersama narapidana kasus narkoba. Kemudian, ia dipindah ke
kantor imigrasi.
“Di sana, saya
ditawari bekerja di pabrik garmen di Perlis Malaysia,” ujarnya. Elisa
mengiyakan tawaran tersebut. Dari sanalah, ada secercah harapan. Niat ingin
mengubah nasib bisa dilakukan pelan-pelan. Elisa bekerja dengan tekun dan giat.
Semakin lama, dia
mendapat kepercayaan untuk mengikuti berbagai kegiatan mewakili perusahaan. Tak
hanya dalam negeri, namun hingga ke luar negeri. Dia terus berkembang dan
menjadi karyawan yang membanggakan. “Di tempat bekerja, saya juga membuat
desain manik-manik,” imbuhnya.
Di sela kesibukannya,
dia juga menyisihkan penghasilannya untuk ikut kursus Bahasa Inggris. Selain
itu, penghasilannya juga ditabung sebagai bekal modal usaha ketika pulang
kampung. “Terpaksa tidak kirim uang pada keluarga selama dua tahun,” tambah
perempuan kelahiran 12 Agustus 1975 ini.
Elisa terus
mengasah keterampilannya belajar cara berbisnis. Dia juga merasa perlu
menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Dia tak mau menjadi
pekerja migran selamanya. Tetap ingin kembali ke tanah air berkumpul bersama
keluarga.
Tahun 2002, dia
berhenti menjadi TKW dan pulang ke tanah kelahirannya di Ledokombo. Sayangnya,
bukan rasa bahagia yang didapatkan ketika tiba di rumah. Ia mendapati kenyataan
pahit. suaminya sudah menikah lagi.
Elisa mencoba tegar. Dia tak ingin semakin terpuruk. Kemampuan mendesain manik-manik yang dipelajari di Malaysia diterapkan di rumahnya. Ia mencoba merangkai gelang, kalung, dan anting.
Hasil dari
kerajinan itu di jual ke Bali. Di sana, Elisa menyewa sebuah ruko untuk
memasarkan produknya. Semakin lama, banyak yang tertarik dengan kerajinan yang
dibuatnya. Terutama para turis asing yang sedang berlibur ke Bali. “Bekal
bahasa Inggris memudahkan komunikasi dengan pembeli,” tuturnya.
Kemampuan bahasa
Inggris begitu bermanfaat untuk membangun jaringan bisnisnya. Dia bekenalan
dengan para pembeli dari berbagai negara. Pelan tapi pasti, kesuksesan mulai
berpihak padanya. Dia mampu membeli outlet di daerah Ubud dan Legian, Bali.
“Mitra bisnis
berawal dari Bali, banyak yang tertarik dengan kerajinan ini,” aku Elisa.
Sayangnya, persoalan keluarga membuat bisnisnya kembali bangkrut pada 2009.
Beruntung, Elisa dibantu Martina, sahabat dan rekan bisnisnya asal Australia.
Dia meminjamkan uang agar Elisa membangun kembali usaha yang sudah bangkrut
itu.
Hasilnya, usaha
kerajinan manik-manik kembali bangkit hingga sekarang. Di Kecamatan Ledokombo, Elisa
tak sendirian dalam memasarkan produknya. Dia bertemu dengan komunitas Tanoker,
salah satu komunitas yang peduli pada pemberdayaan mantan buruh migran. Dia
melakukan kerja sama untuk memasarkan produk kerajinannya.
“Awalnya jualan offline.
Saat Tanoker ada tamu dari luar negeri, produk juga dipamerkan,” ucapnya. Tanoker
juga ikut memasarkan, seiring dengan munculnya kerajinan Tanocraft. Tak hanya offline
(luring), namun merambah ke pasar daring (online) e-commerce,
seperti Tokopedia dan Bukalapak.
Kerajinan
manik-manik berupa kalung dan gelang itu pun diberi merek Elisa Rainbow. Kian tahun,
usaha ini kian berkembang. Bahkan, Elisa sudah mampu mengembalikan utang yang
dipinjam dari sahabatnya. Namun, sahabatnya tidak berkenan. Sebab, persahabatan
antara dua perempuan itu sudah begitu kuat, tak sekadar menjadi mitra bisnis.
Kini, Elisa sudah mempekerjakan 300 perempuan warga sekitar. Pada tahun 2016 hingga 2018 lalu, pekerja mencapai 600 orang. Pekerja berkurang karena permintaan barang juga ikut menurun. “Kalau mengubah desain kerajinan, memang permintaan berkurang, nanti bisa bertambah lagi,” paparnya.
Para pekerja itu
mengambil bahan baku kerajinan di rumah Elisa. Mereka kemudian membuat
kerajinan di rumah masing-masing. Tujuannya agar mereka bisa berkumpul dengan
keluarganya. Sebab, Elisa sudah merasakan pahitnya bekerja jauh dari keluarga.
Pemasarannya terus
meluas hingga 17 negara. Tak hanya Asia, namun hingga Amerika dan Eropa. Mulai dari Tiongkok, Prancis, USA, Kostarika,
Swedia, Inggris, Selandia Baru, Jepang, Australia, Spanyol, Dubai, Jerman,
Malaysia, Singapura, Thailand, Korea, hingga Italia.
Kendati sudah
sukses, Elisa tak mau berhenti di situ. Dia masih terus belajar dan memperluas
jaringannya. Dia terus mempromosikan produk kerajinannya dalam berbagai
kegiatan, salah satunya di Margaret River Australia.
Bahkan, dia juga
dipercaya oleh rekan bisnisnya untuk menjadi trainer design di Tiongkok.
Dia juga mencari inspirasi desain dari
negara Tiongkok untuk terus berinovasi. Bahkan Elisa mengajak saudara maupun
tetangganya yang menjadi TKW agar pulang kampung. Ikut mengembangkan kerajinan
yang dibuatnya.
Meskipun sudah
sukses, perempuan yang hanya lulusan SD tersebut tetap menjadi dermawan.
Pengalamannya dalam menapaki kehidupan membuatnya ringan tangan untuk membantu
sesama. Dia menjadi inspirasi bagi warga dan para mantan buruh migran.
Dia berharap agar warga
desanya tak lagi bekerja menjadi buruh migran. Baginya, lebih baik bekerja di
tanah kelahiran. Oleh karena, dia terus mengembangkan bisnisnya agar bisa
menampung banyak pekerja.
Bisnis kerajinan
yang dikelola oleh Elisa terus berkembang seiring dengan kemajuan industri
logistik. Mengirim barang di dalam hingga ke luar negeri begitu mudah karena
tersedia banyak jasa pengiriman. Mulai dari DHL Express, EMS Express, PT TIKI Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE), dan lainya.
“Kiriman ke luar
negeri membutuhkan surat izin ekspor bagi yang punya usaha,” tambah Agung
Fathur Rahman, Head Unit Sales Marketing JNE Jember. Menurutnya, JNE juga
melayani pengiriman barang ke berbagai negara. Misal, lembaga Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao (Puslitkoka) yang sering mengirim contoh benih dan bubuk kopi ke
berbagai negara, seperti Singapura hingga Malaysia. “Ada beberapa kerajinan asal
Jember yang dikirim ke luar negeri,” pungkasnya.
EmoticonEmoticon