Rachmat menempuh pendidikan S2 dan S3 selama 4,6 tahum di Amerika dan Australia |
Melanjutkan studi di luar negeri tak semudah yang
dibayangkan. Butuh perjuangan yang kuat
agar bisa lulus. Rachmat bisa melaluinya meskipun pernah melalui masa-masa yang
sulit.
Dua tahun menempuh S2 studi di Amerika. 4,6
tahun S3 di Australia. Rachmat Hidayat mampu melewatinya dengan suka duka.
Banyak kisah yang dialaminya selama menjadi anak rantau di negeri orang.
“di Australia pernah
menjadi baby sister,” akunya. Saat itu, dia masih semester awal di Charles Darwin University, Australia. Lalu,
ada pengumuman di Koran seorang perempuang single mencari baby sister. Dia
bekerja sebagai kepala keamanan sehingga harus meninggalkan rumah malam hari.
Rachmat langsung
menghubunginya dan mendaftarkan diri. Dia menawarkan diri bersama sang istrinya
untuk menjadi baby sister. Diterima. Malam hari menjaga anak, pagi hingga sore
kuliah. “Jadi malam hari itu
seperti rumah sendiri, bisa sambil belajar sambil menjaga anak orang,” ucapnya.
Itulah salah satu cerita yang pernah dilalui oleh pria asal Surabaya ini.
Rachmat mengawali
kuliahnya di Universitas Jember. 2004
lalu dia luus kemudian tahun 2005 mengikuti seleksi dosen. Dia berhasil
menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). “Saya kuliah di Unej
karena terinpirasi dari om yang menjadi aktivis,” ucapnya. Darisana, dia
terinpirasi untuk ikut aktif di organisasi intra dan ekstra kampus.
Saat mengajar, Rachmat merasa
perlu mencari ilmu yang baru. Namun dia tidak ingin belajar di dalam negeri.
Sebab ingin mencari sesuatu yang baru. Mulai dari keilmuan hingga pengalaman.
“Saya mulai browsing beasiswa di
internet,” ujar mantan aktivis PMII tersebut.
Disamping itu, dia terus
memperkuat kemampuan bahasanya. Apalagi, alumni SMA Hang Tuah I Surabaya
ini sudah terbiasa dengan bahasa
Inggris. “Sejak kecil saya suka baca buku bahasa Inggris,” tambahnya.
Hal itu karena harga
novel yang paling murah adalah novel bahasa Inggris. Dia membelinya di toko buku
bekas. “Untuk dapat uang itu, saya harus ngepel rumah mbah, baru dapat uang
untuk beli buku,” jelasnya.
Sejak kecil Alumni SMP
Wahid Hasyim 1 Surabaya itu juga terbiasa mendengarkan lagu bahasa Ingrris. Dia
menjadikan musik dan film sebagai wadah
untuk belajar bahasa Inggris.
“Saat tes toefl pertama,
ternyata nilainya 520,” tutur pria kelahiran 22 Maret 1981 tersebut. Usaha
mencari beasiswa tidak sia-sia. Dia menemukan peluang beasiswa double degree. Yakni di University of
Wyoming Amerika Utara dan Universitas Diponegoro.
Disamping itu, Rachmat
juga sudah mencari professor dari Amerika melalui email, yakni Prof Thomas
Seitz. Dia berkenalan dengan salah satu professor dari University of Wyoming. “Saya pro aktif,
kenalan via email, meyakinkan dia dengan karya kalau akan kuliah di Amerika,”
jelasnya.
Sayangnya, ketika sudah
diterima beasiswa itu, Rachmat gagal mendapatkan visa ditolak tanpa prasangka.
“Saya langsung hubungi professor dari Amerika itu, suruh sabar dulu,” ucapnya.
Padahal, berkas beasiswa sudah lengkap dan memenuhi prosedur.
Enam bulan kemudianm,
Prof Thomas mengirimkan pesan email pada Rachmad. Dia diminta kesana untuk
kuliah melalui beasiswa dari dirinya. Biaya kuliah dan biaya hidup ditanggung,
kecuali biaya tiket perjalanan.
Rachmat berangkat ke
Amerika Utara sendiri untuk mencari ilmu. Pertama disana, dia merasa gagap
dengan budaya Amerika . Apalagi cuaca yang tidak sama dengan Indonesia. Musim
panas empat bulan, musim salju delapan bulan. “Makanan juga harus adaptasi,”
ujarnya.
Rachmat salut dengan etos
kerja warga yang luar biasa. Semangat mahasiswa
kuliah untuk mendalami ilmu pengetahuan luar biasa. Selain itu, suasana
sangat egaliter. Dosen dan mahasiswa seperti teman. Tak hanya itu, sarananya
juga memadai. “Kalau ingin kuliah di luar negeri, perbanyak portofolio sejak
kuliah,” ujarnya.
Di Amerika, Rachmat tak
hanya kuliah, namun juga harus bekerja untuk menambah uang saku. Dia membantu
Prof Thomas untuk menuntaskan berbagai projectnya. Selain mendapat beasiswa,
dia juga mendapat gaji yang tidak sedikit.
Beasiswa yang sempat
gagal dari DIkti, Rachmat bisa mendapatkannya kembali setelah bertemu dengan
Konsulat Jendral RI di Amerika. Setelah ditembusi, ternyata beasiswa dari
Indonesia bisa cair. “Saya bilang ke professor kalau dapat beasiswa, beasiswa
saya berhenti dan diminta mencari pengganti,” tambahnya.
Lulus dari Amerika, Rachmat
pulang ke Unej untuk kembali mengajar pada tahun 2009. lalu, di tahun 2012, dia
kembali berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi S3.
Rachmad menyelesaikan
kuliah doktornya selama 4,5 tahun. Perjalanannya cukup berat. Sebab juga
bekerja, menjadi baby sister, bahkan pernah menjadi panitia pemilihan luar
negeri Australia atau KPU.
Dalam menyelesaikan
disertasinya, dia dibimbing oleh 3 profesor. Perjalanannya tidak mudah, karena
harus bertemu dengan satu professor yang tidak cocok. Yakni kerap mengkritisi
dan menjelekkan Indonesia. “Saya sanggah pernyataan dia tentang Indonesia,”
tegasnya.
Rachmat berupaya agar
bisa mengganti professor itu dan menemukan pengganti yang tepat. Pertemuan
dengan professor baru itulah yang mengajak Rachmat menjadi dosen bahasa
Indonesia di Australia. “Saya ngajar disana selama 3,5 tahun,” kata Kaprodi
Administrasi Publik Pascasarjana FISIP tersebut.
Selesai menempuh studi,
Rachmad kembali ke Unej untuk mengajar. Salah satu peninggalannya di Australia
adalah Indonesian Australia Country Darwin (IACD). Dia mendirikan komunitas
tersebut untuk mewadahi para WNI yang ada disana. “Sampai sekarang masih ada,”
pungkasnya.
EmoticonEmoticon