Suatu hari, saya sedang bepergian ke daerah pelosok, yakni Desa Umbulrejo Kecamatan Umbulsari. Jaraknya cukup jauh dari kota Jember, sekitar 45 kilometer dengan jarak tempuh sekitar satu jam. Di pasar kecamatan, saya berhenti untuk membeli minuman.
“Bisa bayar pakai OVO mbak?” tanyaku pada kasir Indomart
“Wah, ga bisa mas, bisanya hanya pakai link aja,” jawabnya.
“Wah ga bisa ya. Kalau pakai kartu Brizzi bisa
ya?”
“Iya bisa,” jawabnya, lalu aku menyodorkan kartu
tersebut pada mbak kasir.
“kenapa
tidak bisa pakai OVO mbak,” tanyaku kembali.
“karena
belum kerjasama dengan OVO mas,”
ucapnya.
![]() |
Saat saya hendak membayar pakai OVO, ternyata tidak bisa, akhirnya pakai BRIZZI |
Percakapan
tersebut berakhir setelah transaksi selesai. Saya kembali melanjutkan
perjalanan. Untung saja, saya membawa kartu Brizzi. Sebab tidak membawa uang cash
di dalam dompet. Bahkan, saya tak
sempat menemukan ATM dalam perjalanan, sepertinya juga cukup jauh. Untung saja, cadangan kartu Brizzi menjadi penolong saat itu.
Ternyata, tak hanya Indomart yang tidak bisa membayar menggunakan OVO. Minimarket yang selalu ada di sebelahnya, yakni Alfamart. Saya mencoba belanja dan mencoba menawarkan membayar dengan OVO.
“Wah tidak bisa bayar pakai OVO mas, bisanya pakai Gopay,” jelas kasir alfamart di kawasan kampus Universitas Jember. lalu, saya kembali menyerahkan kartu Brizzi untuk transaksi pembayaran.
Saya
semakin penasaran, apa saja yang bisa membayar
menggunakan OVO. Lalu, saya mencoba belanja pada
aplikasi e-commerce yang ada di
gawai. Mulai di Tokopedia, Bukalapak,
hingga
Lazada.
Ternyata sama saja, hanya aplikasi Tokopedia
yang bisa menerima pembayaran dengan OVO. Semantara platform e-commerce lainnya tidak bisa. Lazada bisa melakukan pembayaran menggunakan Dana
dan Link aja.
Sementara
Bukalapak juga hanya bisa menggunakan Link aja. Selebihnya pembayaran melalui
transfer ke virtual account, transfer ke rekening bank, internet banking, bayar
di sejumlah gerai, pakai kartu kredit dan cicilan melalui Kredivo dan Akulaku.
Di sejumlah e-commerce pun sama, hanya melayani pembayaran dengan uang digital tertentu |
Pembayaran
yang tidak simpel. Bayangkan,
bila saya harus memiliki
berbagai akun pembayaran mulai dari OVO, Link AJa, Dana atau lainnya. Betapa ribet dan gawai yang penuh aplikasi. Sementara,
saya hanya membutuhkan satu aplikasi untuk membayar.
Begitu juga dengan pihak merchant, bila harus
melengkapi berbagai aplikasi dompet digital. Mulai dari OVO, Link Aja, Dana dan
lainnya. Bukan semakin membuat simple dan praktis, justru sebaliknya.
Bisa jadi,
cerita yang saya sampaikan diatas juga dialami oleh orang lain. Terutama generasi
milenial yang sudah tidak asing dengan dompet digital. Apalagi, pembayaran
dengan uang digital sudah sudah menjadi
gaya hidup milenial. Bahkan terus meningkat setiap tahunnya.
Untuk perkembangan
uang digital ini, saya berkesempatan mewawancari ketua tim pengembangan ekonomi
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Jember, Lukman Hakim. Hasilnya cukup
mengejutkan, Jember merupakan kabupaten dengan transaksi uang
digital terbesar ke dua di Jawa timur setelah Surabaya.
Di Jember sendiri, ada 258 ribu orang bertransaksi menggunakan uang digital pada triwulan pertama 2019. atau Sepuluh persen pengguna dari jumlah penduduk Jember sekitar 2,5 juta jiwa. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding surabaya yang mencapai 292 ribu orang.
Mayoritas
yang bertransaksi menggunakan uang digital itu adalah generasi milenial. Banyak
dari mereka dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Meningkatnya pembayaran uang
digital karena didukung sarana yang memadai.
Seperti
adanya perguruan tinggi, tempat perbelanjaan, tempat usaha yang memakai uang
elektronik dalam bertransaksi. Selain itu, juga semakin beragamnya
penyelenggara uang elektronik.
Bank Indonesia
sendiri sudah mengeluarkan izin pada beberapa penyelenggara dan pendukung jasa
sistem pembayaran. Hingga 24 oktober 2019, terdapat 39 penyelenggara uang
elektronik. Mulai dari sakuku, link aja, Ovo, Gopay dan lainnya. Masing-masing
penyelenggara tersebut memiliki merchant yang berbeda-beda.
Bayangkan,
ada 39 penyelenggara uang elektronik yang memiliki aplikasi masing-masing. Bila
harus punya masing-masing aplikasi, apa jadinya? Lalu bagaimana solusinya?
Qris, Satu QR Code untuk Semua Pembayaran
Tenang
saja, saya punya informasi terbaru untuk
mengatasi permasalahan yang saya alami di atas. Kecanggihan teknologi
terus berkembang dan semakin memudahkan
masyarakat. Transaksi keuangan digital terus meningkat. Masyarakat tak
perlu lagi membayar pakai uang tunai. Namun sudah
tersedia berbagai aplikasi yang memudahkan.
17
Agustus 2019 lalu, saya mendapat pesan whatsap dari Agapito, salah satu karyawan
KPwBI Wilayah Jember. Saya diundang untuk menghadiri kegiatan peluncuran QRIS.
“Apa
QRIS itu mas? Tanyaku via whatsap.
“Nah,
maka dari itu datang langsung ya mas ke Bank Indonesia, akan diterangkan secara
lengkap,” jawab Pito. Sayapun berangkat ke kantor BI Jember yang berada di
Jalan Gajahmada Kecamatan kaliwates ini.
Rupanya,
inilah jawaban atas permasalahan pembayaran uang digital yang saya alami. Bank
Indonesia bakal menerapkan kanal pembayaran baru. Namanya Qris. Tapi bukan
keris yang diakui Unesco sebagai warisan dunia ya.
Qris ini
singkatan dari QR Code Indonesian Standard (QRIS). Kanal ini
bakal menjadi salah satu
alternatif pembayaran uang digital
yang terintegrasi. Rencananya, akan diterapkan pada awal Januari 2020
mendatang. Jadi ga sabar menunggunya.
Mungkin saja, Bank Indonesia mengeluarkan
kebijakan ini karena persoalan yang saya alami diatas. Akhirnya berinovasi mendorong efisiensi transaksi dan mempercepat
inklusi keuangan. QR code dikembangkan bersama Asosiasi Sistem
Pembayaran Indonesia (ASPI).
Sistem pembayaran ini bakal memudahkan masyarakat, terutama saya. Bila selama ini memindai QR code oleh masing-masing Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran (PJSP) dengan beda-beda pelaksana. Seperti Ovo, Go Pay, link aja dan lainnya. Maka
QR code distandarkan sehingga tidak perlu menggunakan banyak PJSP, namun
cukup satu.
Artinya,
meskipun saya hanya punya aplikasi OVO, namun bisa digunakan untuk membayar
dimana saja. Tak perlu bingung, lagi karena sudah satu pintu. Kanal pembayaran ini lebih efisien karena dengan
melakukan transaksi non tunai, masyarakat bisa melakukan pembayaran di
masing-masing penyedia barang dan
jasa atau merchant hanya dengan memindai satu QR code.
Begitulah
teknologi, semua masalah bisa diatasi dengan mudah. Standar nasional QR
Code diperlukan untuk mengantisipasi inovasi teknologi, dan perkembangan kanal
pembayaran yang berpotensi menimbulkan fragmentasi baru di industri sistem
pembayaran. Selain itu, juga
untuk memperluas akseptasi pembayaran nontunai nasional lebih efisien.
Lalu,
bagaimana sistem kerjanya? Metode penggunaan QR Code ada dua langkah,
yakni statis dan dinamis. Maksudnya, jika statis, QR code discan, dan pihak merchant menginput jumlah
nominal biaya yang dikeluarkan, untuk setiap transaksi pembayaran. Dinamis, QR code ditampilkan melalui struk
yang dicetak mesin EDC atau layar monitor, di mana QR code yang dipindai
berbeda untuk setiap transaksi pembayaran, dan juga mengandung nominal
pembayaran yang akan dibayar.
Hebatnya,
lagi, QRIS menggunakan standar internasional dari lembaga yang menyusun standart internasional
QR Code untuk sistem pembayaran (EMV Co.), yang sudah diadopsi untuk mendukung interkoneksi yang lebih baik,
atau bersifat open source. Untuk
menjadi penyelenggara QR code Payment, merchant wajib memperoleh persetujuan dari BI.
#Transaksi lancar pakai QR Standar!
#Usaha la car pakai QR Standar!
#QR Standar pembayaran digital ala milenial
Refrensi:
EmoticonEmoticon