![]() |
Foto-foto dokumentasi Nicky Widya Ningrum
Anak-anak forum lintas iman di depan Gereja
Kristen Jawi Wetan bermain tentang keberagaman
|
Pada dasarnya, warga Indonesia memiliki budaya luhur dalam menjaga
perdamaian. Sikap saling gotong-royong, menghomati perbedaan dan menjunjung tinggi
nilai persaudaraan. Kearifan lokal ini perlu dikuatkan lagi.
7 Juli 2018, 35 siswa SD hingga SMP di Kecamatan
Kencong berkunjung ke Gereja Kristen Jawi Wetan Dusun Sidoreno, Desa Wonorejo
Kecamatan Kencong. Mereka datang bersama ibunya dalam kegiatan forum lintas
iman. Mereka berasal dari kalangan beragam agama, dari Islam, Kristen, Hindu
dan Katolik.
Anak-anak itu bermain di depan geraja, sedangkan ibu
mereka berada di dalam sedang berdiskusi. Tema yang diangkat keluarga tanpa
kekerasan pada anak. “Temanya sesuai kebutuhan, tema pertama pentingnya
pendidikan toleransi bagi anak di keluarga,” kata pendeta Nicky Widya Ningrum.
Pertemuan anak lintas agama itu merupakan kegitan kali
ketiga dalam rangka Hari Anak Nasional (HAN) 2018. Saat orang tua sedang
berdiskusi, anak-anak berada di luar,
berbaur, bermain out bond, menyanyikan lagu kebangsaan, bermain puzzle
peta Indonesia, bermain ular tangga keindonesiaan, estafet air dan lainnya.
“Awalnya canggung saat pertama berjumpa, wajar. Namun
tak butuh lama untuk akrab dan bergandengan tangan,” katanya. Saat mereka
bermain, tak ada perbedaan mereka dari agama apa saja. Semua tampak ceria dan
rukun meskipun berbeda agamanya. Pembiasaan itulah yang ingin dilakukan oleh
forum lintas iman ini agar ketika sudah besar memahami perbedaan.
Apalagi, kata dia, mayoritas Dusun Sidoreno beragama Kristen. Sedangkan dusun tetangga lainnya merupakan warga beragama Islam. “Anak-anak kan sekolah negeri, separuh
teman mereka Muslim, kami merasa perlu menciptakan wadah bagi mereka,” ujarnya.
Yakni memberikan pemahaman sejak dini bahwa
keberagaman itu memang ada dan nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu harus disadari oleh generasi bangsa. Selama ini, tak ada wadah yang
membuat mereka bisa berkomunikasi dan saling menghargai. “Kami sediakan wadah yang isinya bermain, tetapi di dalamnya
belajar,” terangnya.
Harapannya, mereka tidak anti dengan orang yang
berbeda. Bukan hanya hanya beda agama, namun
juga perbedaan suku, ras, pendapat dan lainnya. Mereka perlu belajar memahami
perbedaan, menyikapi perbedaan dan mendialogkannya.
“Itu harus dilatih sejak dini,” ujar perempuan yang akrab disapa Nicky
tersebut.
Sebab, lanjut alumni UKDW Jogjakarta ini, warga satu iman
yang tidak siap berbeda, bisa terjadi permusuhan. Pentingnya mendidik
anak agar bersikap toleran bukan hanya karena agama. Namun agar menjadikan
mereka hidup rukun. “Persoalan ini bukan hanya antar beragama, namun siap
menerima semua perbedaan,” tegasnya.
Selain itu, kearifan lokal yang sudah diwariskan nenek
moyang. Seperti gotong royong harus terus dijaga ditengah arus globaliasi.
Misal, di Desa Wonorejo terdapat kegiaatan
soya atau memperbaiki rumah dengan cara beramai-ramai. Nilai
gotong royong itu merupakan kearifan lokal untuk menjaga kebersamaan. “Tanpa
harus melihat apa agamanya,” tutur Nicky.
Dalam menjaga kearifan lokal untuk menciptakan
kerukunan umat beragama, Desa Sidorejo dan Sukoreno Kecamatan Umbulsari bisa
menjadi contoh. Sebab, dua desa ini mampu menjaga kerukunan umat beragama.
“Setiap ada kegiatan keagamaan, anak anak muda disini
kami ikutkan,” kata Sugiyono, salah satu Forum Kerukunan Umat Beragama yang
berasal dari Desa Sidorejo. Desa tersebut terdiri dari 65 persen umat Kristen ,
35 persen muslim
Warga desa tersebut berbaur dalam setiap kegiatan.
Bahkan, ketika Kristen memiliki kegiatan. Mereka saling mendukung dengan datang
menghadiri undangan, begitu juga sebaliknya. “Bahkan hadrah juga masuk geraja,” ucapnya.
Tradisi yang diwariskan nenek moyang, seperti saling
menghormati, gotong royong, bersilaturahim diterapkan oleh mereka. Tak heran,
tak ada persinggungan di desa yang berbeda keyakinan. Sebab, ajaran nenek
moyang untuk saling menjaga persaudaraan diterapkan.
Setiap agama memiliki budaya dan keyakinan sendiri.
Semua itu harus dihormati agar bisa saling menjaga keharmonisan. Mereka saling
mendukung program keagamaan dari masing-masing agama. “Misal perayaan Islam,
kita silaturahim ke rumah warga,” ujarnya.
Kearin lokal untuk merawat keberagaman itu juga
diajarkan oleh komunitas Tanoker di Kecamatan Ledokombo. Anak-anak diajari agar
tidak terjerumus pada paham radikalisme sehingga menciptakan suasana intoleran.
“Desa dan kota sama, ajaran radikalisme banyak masuk lewat internet,” tutur
Cicik Farha, pendiri komunitas tanoker yang
juga salah satu pendiri Aliansi Indonesia Damai (Aida).
Permainan tradisional egrang menjagi alat untuk
mengajarkan anak-anak agar belajar memahami perbedaan. Mereka diajarkan tentang
menghormati orang lain, memahami keberagaman dan kemajemukan, gotong royong.
“Pencegahan radikalisme harus membangun sistem dektesi dini,” tandasnya.
EmoticonEmoticon