Geliat usaha batik terus merambat ke berbaagai daerah
pelosok. Seperti batik sekarwaru yang ada tengah sawah Desa Tegalwaru. Batik ini tumbuh dan berkembang
dari pelosok desa.
batik yang dibuat di Dusun Sumberpinang Desa Tegalwaru kecamatan Mayang
Mencari tempat produksi batik sekarwaru di Dusun
Sumberpinang Desa Tegalwaru Kecamatan Mayang cukup sulit. Ia berada di kawasan yang
cukup terpencil. Sebab, harus melewati jalan setapak di tengah hamparan sawah.
Kendaraan roda empat tidak bisa menjangkau tempat ini. Hanya
bisa dilalui oleh roda dua. Namun harus berhati-hati agar tidak terjatuh. Sebab
jalannya tidak beraspal, hanya jalan setapak. Bahkan untuk mencari signal
internet cukup sudah di tempat ini.
Di musim hujan, tak ada batik yang dijemur di luar rumah.
Bahkan, produksi menurun karena kencala cuaca. Di dalam rumah Vivin
Rofiqoh, pemilik batik ini, ada sehelai
kain yang sudah dibatik sedang dikeringkan melalui kipas angin.
Batik itu dikeringkan di ruang tamunya yang cukup sempit.
Sementara, beberapa batik dengan motif tembakau yang sudah selesai, dipajang.
Ada warna hitam, merah, orange hingga lainnya.
Keterbatasan akses dan sarana tidak menjadi penghalang bagi
Vivin untuk memulai usaha. Perempuan yang
akrab disapa Vivin ini baru merintis usaha batik khas Jember. Tak banyak warga
Mayang yang bergerak di sektor ini. Hanya
ada sekitar dua pengrajin batik. “Saya
baru memulai sekitar tahun 2016,” katanya.
Semua itu berawal saat dirinya mengikuti pelatihan membatik
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Tegalwaru. Sekitar 50 warga ikut
kegiatan tersebut. Sayangnya, tak semua menekuni dunia batik, hanya beberapa
orang saja yang melanjutkan kerajinan batik.
Salah satunya adalah Vivin Rofiqoh yang juga sebagai guru
di MI Nurur Rohman. Dia tetap memiliki semangat untuk melanjutkan kemampuan
membatiknya. Apalagi, dia memang suka menggambar. Akhirnya, dia memulai dengan cara yang
sederhana.
Pertama mengawali kerajinan ini, Vivin sempat diremehkan
oleh tetangga sekitar. Sebab mereka tidak yakin dengan usaha batik akan laku.
Apalagi ada di daerah terpencil yang tak bisa dilewati kendaraan roda empat.
Membuat batik, kata dia, memalui beberapa
tahapan. Seperti Pemberian malam
atau lilin pada kain, pewarnaan hingga pelepasan lilin
dari kain. Kain putih yang akan dibatik dapat diberi warna dasar sesuai selera.
Setelah itu diberi lilin.
Proses pemberian lilin menggunakan canting
tangan. Setelah itu, batik dicelup dengan warna. Proses pewarnaan ini
dapat dilakukan beberapa kali sesuai keperluan dan berapa warna yang
diinginkan. “Saya hanya produksi batik tulis,” ujarnya.
Setelah proses pewarnaan dan pemberian malam
selesai. Malam atau lilin dilunturkan dengan proses pemanasan. Batik yang
telah diproses diatas direbus hingga lili menjadi leleh dan terlepas dari kain
dan larut dalam air.
Proses perebusan ini dilakukan dua kali, yang
terakhir dengan larutan soda ash untuk mematikan warna yang menempel pada
batik, dan menghindari kelunturan. Setelah perebusan selesai, batik
direndam air dingin dan dijemur.
Dalam memproduksi
batik, bila pemesanan cukup banyak, vivin menggunakan jasa warga sekitar,
terutama keluarganya sendiri. “Hasil batiak pertama dulu dipakai sendiri, tidak dijual,” ucapnya.
Sekarang, lanjut dia, batik yang dibuatnya sudah dipamerkan
di berbagai daerah, mulai dari Surabaya hingga Bali. Bahkan pembelinya beragam,
mulai dari pejabat hingga pengusaha. Bahkan, dia juga memasarkan kerajinan
batik itu melalui toko online.
Batik yang dibuatnya memang tidak banyak. Sebab, juga
bergantung pada modal yang dimiliki. Satu bulan batik yang diproduksi masih 15
potong. “Harganya dari Rp 250 hingga Rp 400 ribu,” akunya. Motif yang dipakai mulai dari motif tembakau, kopi dan
kakao. Usaha yang dirintisnya memang penuh perjuangan. Namun dirinya ulet dan
sabar untuk terus mengembangkan kerajinan batik.
EmoticonEmoticon