Foto Bagus Supriadi: Syukron, siswa kelas SDN Jambearum 3 berwudu untuk salat Jumat tak perlu turun tebing lagi.
|
Orang tua dan anak-anak Dusun Sumberpetung Desa Jambearum, Sumberjambe terbiasa mandi
sehari sekali. Sebab, tak mudah untuk mendapatkan air. Mereka harus berjalan
kaki dan menuruni tebing berbahaya untuk sampai di mata air. Kini kondisinya
berubah. Bagaimana caranya?
Syukron,
siswa kelas SDN Jambearum 3 hendak menunaikan salat Jumaat. Di pinggir jalan,
dia berhenti untuk berwudu. Syukron tak sendirian, tetapi beberapa temannya
juga melakukan hal yang sama. Di
beberapa sudut rumah, terdapat kran air yang digunakan warga untuk berbagai
keperluan. Seperti mengisi jeriken air untuk
air minum, hingga mengisi bak mandi di rumah masing-masing.
Anak-anak
pun sudah terbiasa mandi pagi sebelum berangkat sekolah. Hal ini berbeda dengan beberapa
waktu sebelumnya. Para pelajar di dusun ini
hanya mandi sekali dalam sehari, yakni sore hari. Sebab, mereka harus menuju
mata air yang jaraknya cukup jauh dan medannya cukup sulit. “Dulu saat mau
salat Jumat, harus turun tebing untuk ambil wudu” kata Syukron.
Untuk
mendapatkan air, warga harus berjalan kaki sejauh sekitar 300 meter, menuruni
tebing yang cukup curam. Berjalan di jalur setapak, lalu menuruni tangga
sekitar 20 meter. “Dulu setiap mandi ke sumber mata air, selalu bawa jeriken,” aku Annawari, warga RT 2 RW 1. Tak
tanggung, warga membawa air dengan cara dipikul,
padahal beratnya 40 liter.
Air itu
digunakan untuk kebutuhan masak. Sedangkan untuk mandi, mereka langsung datang
ke sumber mata air walau cukup jauh. Begitulah rutinitas mereka selama ini. Tak heran, anak-anak hanya
mandi sekali dalam sehari. Hal ini membuat kebersihan mereka kurang terjaga,
berdampak pada kesehatan dan pertumbuhan generasi bangsa. Sebab, keterbatasan
akses untuk mendapatkan air.
“Warga
Dusun Sumberpetung ada sekitar 200 KK,” tambah Usman, warga lainnya. Mayoritas
dari mereka sebagai petani dan buruh tani. Usai bekerja pada sore hari, mereka
langsung menuju ke sumber mata air bersama anak-anaknya untuk mandi.
Namun,
kondisi itu sudah berubah sejak awal 2018 lalu. Air yang didambakan kini sudah
sampai di rumah. Semua itu berawal dari keinginan agar air bisa dipakai dengan
mudah. “Kami dibantu oleh komunitas grebeg sedekah,” tambahnya. Komunitas anak
muda di Jember inilah yang membantu warga membangun pipa hydrant agar air bisa sampai ke atas.
“Awalnya
kami sharing dengan warga, ternyata
mereka kesulitan mendapatkan air,” aku Hanan Kukuh Ratmono, ketua komunitas Grebeg
Sedekah Jember. Dia bersama tim mempelajari
cara agar air itu bisa sampai ke atas, ke rumah warga. Mereka mencari refrensi
di internet, mencari cara di youtube.
Ternyata, salah satu cara adalah dengan teknologi pipa hydrant.
“Kami
pelajari dulu untuk menggunakan pompa hydrant,”
ujarnya. Butuh waktu sekitar satu bulan agar teknologi pompa hydrant itu bisa maksimal. Sebab,
beberapa kali mencoba secara gotong royong bersama warga, selalu gagal. Namun,
kesabaran membuahkan hasil, air bisa naik ke rumah warga.
Sekarang,
sudah ada enam pompa hydrant yang
mengalir ke beberapa titik di rumah warga. Terutama masjid. Kemudian, ada
sembilan kran yang tersedia di beberapa titik. Setiap pagi, anak-anak mengambil
air untuk kebutuhan memasak. Hanan menilai, warga tak kekurangan air di tempat
tersebut. Hanya saja akses yang terbatas untuk mendapatkannya. Apalagi
kawasannya merupakan daerah bukit. Air berada di bawah.
“Warga
mau gali sumur juga sulit, sangat dalam,” akunya. Untuk itulah, grebeg sedekah
seperti menyalakan lilin sebagai sinar para generasi bangsa Sumberpetung.
Anak-anak bisa menjaga kebersihan, lebih mudah dalam beraktifitas, mulai dari
sekolah hingga belajar agama di madrasah diniyah.
Tak
hanya di Dusun Sumberpetung, beberapa dusun lainnya yang mengalami kendala
mendapatkan air bersih, juga dibangunkan pompa hydrant. Sepert Dusun Paceh dan Sumberkokap. Kawasan yang berada di
kaki Gunung Raung ini juga sudah teraliri air. Tata kelola sumber daya air ini
menjadi perhatian Agus Luthfi, pengamat ekonomi lingkungan dari Fakultas
Ekonomi Bisnis Universitas Jember. Dia meneliti tentang model tata kelola
sumber daya air tanah yang berkelanjutan.
Menurut
dia, permasalahan sumber daya air ada
tiga aspek. Yakni, terlalu banyak air, kekurangan air, dan pencemaran air. Seharusnya, kata dia, sumber
daya alam berupa air harus dikelola dengan bijaksana agar tidak menimbulkan
konflik di kemudian hari. Sebab, di masa depan, bisa berpotensi menimbulkan
perang karena perebutan air yang semakin lama semakin terbatas.
“Pemerintah
harus hadir untuk memberikan jaminan air yang dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat,” katanya. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Yakni bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dia menilai, air
seharusnya diperlakukan sama dengan sumber daya alam lainnya, seperti minyak
bumi, gas dan batu bara.
Pihak
yang memanfaatkan tambang dikenai pajak yang cukup besar sehingga memberikan
kontribusi pada negara. Hanya saja, ini tidak berlaku pada air. Padahal, banyak
sumber daya air yang dimanfaatkan pihak tertentu, seperti swasta sebagai produk
minuman, namun kontribusinya pada negara masih minim. “Salah satu caranya bisa
dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa (BumDes),” sarannya.
EmoticonEmoticon