Foto: Wawan Dwi Siswanto: Penderita HIV/Aids harus mengkonsumsi obat setiap malam |
Kisah kelam ini tak ingin dialami oleh Richard,
buka nama sebenarnya. Kerasnya hidup mengantarkannya pada pergaulan bebas.
Bahkan menderita penyakit HIV/Aids di usia yang masih muda, 27 tahun.
Richard, pria asal Jember ini harus rutin
mengkonsumsi pil setiap pukul 21.00
malam. Bila kehabisan obat, dia harus datang ke klinik VCT RS dr Soebandi.
Begitulah rutinitasnya menjadi ODHA di
Kabupaten Jember.
“Kadang juga pernah lupa tidak minum obat,” katanya
ketika ditemui salah satu perumahan di Kebonsari. Pria dengan rambut keriting
itu memiliki masa lalu yang kelam. Tentu dia tak ingin mengalami hal yang telah
membuat masa depannya kelam.
Dia berasal dari latar belakang keluarga yang
rusak. Ibunya bercerai dan menjadi pembantu rumah tangga di luar kota. Bapaknya
juga tidak ada. Terpaksa, dia harus kehilangan kasih sayang. “Saya tingggal
dengan nenek yang bekerja sebagai buruh tani,” akunya.
Masa kecilnya memang memprihatinkan. Sebab, dia
kerap dibully oleh teman-teman hingga lingkungna sekitar. Diejek karena tidak
punya orang tua serta dianggap mirip
perempuan.
Bully itu membekas pada dirinya dan membuatnya
semakin terpengaruh. Namum, Richard tak ada tempat untuk mengadu dan berkeluh-kesah.
Semua dipendam sendiri. “Lulus SMP saya jadi buruh tani,” ujarnya.
Karena tidak mendapatkan hasil yang maksimal,
akhirnya mencoba peruntungan dengan merantau ke Bali. Disana, dia bekerja di
restoran di daerah Ubud dengan gaji Rp 250 ribu. “Disana disediakan tempat
tingal,” katanya.
Disana, dia bekerja selama satu tahun. Setelah
itu pindah ke Denpasar. Di tempat inilah cikal-bakal pergaulan bebas yang
dialami oleh Richard. Pekerjannya serabutan, mulai dari belanja, menggoreng
kacang, hingga mengikat sayur untuk dijual. bekerja dari pukul 05.30 hingga
pukul 23.00. “Gaji disana Rp 400 ribu,” imbuhnya.
Kendati seperti kerja rodi, Richard tetap
menjalani aktivitas tersebut. Sebab, tak ada pekerjaan lain. Namun, dia titap
mengirim uang pada neneknya agar bisa belanja.
Hingga pada suatu hari, tetangga tempatnya
bekerja mengajaknya jalan-jalan. Sebab melihat Richard selalu bekerja tanpa
henti. Tak pernah berlibur. “Saya dikompori
untuk cari hiburan,” ucapnya.
Dia pun terpengaruh dan mulai masuk ke diskotik.
Disana, dia mulai mengenal dunia malam. Pulang selalu dini hari pukul 4 shubuh.
Hingga pada suatu hari, teman cowoknya itupun merayunya. “Namun saya tolak, kan
sama cowok, aneh banget,” ungkapnya.
Namun cobaan itu tak selesai disitu, Richard
bertemu dengan orang Bali dan saling tukar nomor kontak. Darisana mereka
berkenalan dan mengajak Richard ke rumahnya. Petaka terjadi, Richard menjadi
korban kekerasan seksual di rumah kenalan barunya.
“Setelah kasus itu, saya trauma dan tidak mau
kenal siapapun,” akunya. Bahkan, dirinya sempat mengalami pendarahan. Saat itu,
dia sangat tersiksa, sebab pekerjaan juga terganggu.
Penderitaan tak selesai disitu, teman lama yang
pertama kali mendekatinya juga datang kembali. Dia kembali mengajaknya ke dunia
gelam. Darisanalah, dia mulai kembali pada dunia malam dan bergabung dengan
komunitas gay.
“Saya waktu itu sudah kerja di SPA, gaji Rp
700ribu,” imbuhnya. Ketika malam dai ke diskotik. Dan mulai terjun ke dunia
seks bebas, terutama dengan sesama jenis. Bahkan, Richard mengaku lebih dari
200 kali ganti pasangan.
“Saya sudah terlanjur, sudah kadung rusak,” tegasnya.
Akhirnya dia dikendalikan oleh nafsunya.
Kerap gonta-ganti pasangan dalam berhubungan. Bahkan, dirinya tak mengerti
dampak penyakit yang diakibatkan dari hal itu.
“Saya ga ngerti apa itu Hiv/Aids,” ujarnya.
Hingga dirinya sering sakit-sakit dan berat tubuhnya menurun 25 kilogram. Lalu
diperiksa ke Puskesmas hingga ke Rumah
sakit. Saat diberitahu bahwa dirinya
positif mengidap HIV/Aids, dia masih merasa biasa.
Sebab, Richard tidak tau penyakit itu dan menilai
penyakit biasa yang bisa sembuh. Akhirnya dia disuruh pulang ke Jawa agar bisa
periksa rutin. Richard pulang dari Bali ke keluarganya. “Kelurga tidak tau
kalau penyakit saya HIV/Aids,” ucapnya.
Di Jember, Richard tinggal di daerah pinggiran.
Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke RS dr Soebandi. Namun semua itu
dilaluinya dengan penuh sabar. “Sekarang semakin kurang ramah di klinik vct dr
Soebandi,” ucapnya.
Sebab, seharusnya pil yang didapatkan disana
cukup banyak agar tidak perlu bolak balik. Namun pernah diriyna hanya dikasi
lima biji. Sehingga harus kembali lagi setelah lima hari, padahal cukup jauh.
Selain itu, kata dia, program untuk penderita
ODHA juga sudah mulai berkurang. beberpaa tahun sebelumnya sering ada penguatan
bagi penderita HIV/Aids. “Namun sekarang hampir tidak ada,” ucapnya.
EmoticonEmoticon