![]() |
Masyarakat pinggir sungai bedadung memanfaatkan air untuk mandi dan mencuci. Tampak disebelahnya tumpukan sampah. |
Pencemaran lingkungan sungai memang memprihatinkan. Bahkan, hampir semua
sungai sudah dikotori oleh sampah. Tak hanya sungai citarum, namun sungai
bedadung juga mulai tercemar. Kebersihan diabaikan.
Hanya saja, tingkat keparahannya lebih memprihatinkan sungai Citarum. Namun,
bila tidak ada kepedulian bersama untuk menjaga, merawat dan melestarikan
sungai. Maka hanya tinggal cerita kepada generasi penerus.
Kepedulian pemerintah terhadap kelestarian sungai harus menjadi pioner
untuk diteruskan pada pelestarian sungai lainnya. Tak hanya Citarum, tetapi
merambat pada sungai-sungai lainnya di bumi nusantara. Tak hanya itu, pemerintah
tak bisa bekerja sendiri, kepedulian masyarakat, para pemuda sangat vital untuk terlibat
Kepedulian ini pernah dilakukan di Kabupaten Jember. Para pemuda yang
tergabung dalam komunitas peduli lingkungan turun langsung membersihkan sungai.
Mereka mengajak pemerintah dan masyarakat agar peduli.
Sayangnya, aksi ini hanya spontanitas dilakukan oleh mereka. Sebab, setelah
itu sampah kembali menimbun di pinggiran sungai. Gerakan resik-resik kali pun
terhenti karena tak bisa melawan kebiasaan masyarakat yang tidak peduli dengan
lingkungan.
Seharusnya, penyadaran terus dilakukan hingga warga benar-benar memahami
pelestarian lingkungan. Sosialisasi tentang pelestarian sungai masih rendah. Sarana
yang memadai untuk mewujudkan sungai bebas sampai juga terbatas. Tak heran,
warga memilih membuat sampah disungai.
Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di semua sungai yang ada di
Indonesia. Lalu, seperti apa kondisi sungai selain Citarum. Ini dia cerita
tentang sungai Bedadung di Jember.
Dibutuhkan
Sepanjang Masa, Tapi Kebersihan Diabaikan
Kondisi
sungai Bedadung sudah mengalami banyak perubahan. Mulai dari debit air,
kejernihan, hingga hijaunya pepohonan. Kali tersebut selalu dibutuhkan
masyarakat Jember sepanjang masa. Anehnya, mengapa kelestariannya diabaikan?
Setiap hari, di waktu pagi atau sore, Kholifatun selalu mencuci pakaiannya di sungai Bedadung. Bersama perempuan yang lain, mereka beramai-ramai memanfaatkan kali yang menjadi ikon Jember itu sebagai kebutuhan hidup, seperti mandi.
Rutinitas mencuci
di sungai sudah dalam dilakukan sejak lama, bahkan sejak masih kecil. Anak-anakpun
sering bermain di kali Bedadung. Tapi sudah tidak seramai dulu, ketika
kebersihannya masih terawat. “Kalau dulu anak-anak yang mandi di sungai sambil
bermain selalu ramai,” kata Kholifatun, warga RW 10 RT 02 Kelurahan Kepatihan,
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember.
Perempuan yang
hidup di daerah pinggir kali Bedadung itu menilai sungai banyak mengalami banyak
perubahan. Hal itu seiring dengan kepadatan penduduk yang belum memiliki
kesadaran untuk melestarikan lingkungan.
Di sebelah barat para perempuan yang sedang
mencuci, tampak seorang pria sedang memancing. Hal itu dilakukan untuk mengisi
waktu luang dan mencari hiburan dengan hobinya.
Tak sedikit
masyarakat yang memancing di tempat itu, terutama pada malam hari. Meskipun,
ikan-ikan sudah mulai hilang karena sungai tercemar. Sungai rusak, flora dan
fauna pun tinggal cerita.
Sungai yang kian
menyusut tersebut memang memprihatinkan. Sebab, sampah terlihat di berbagai
penjuru arah. Memang, sebagian warga masih membuang sampah di sungai, terutama
rumahnya yang tak jauh dari Bedadung.
Mattali, warga
sekitar yang cukup lama menetap di daerah tersebut turut merasakan perubahan
itu. Di tahun 1960-an. Air sungai Bedadung tetap besar meskipun musim kemarau.
Kebersihan juga terjaga karena masyarakat tertib membuang sampah. “Dulu jarang
yang buang sampah di sungai,” tegasnya saat ditemui di kediamannya.
Berbeda dengan
sekarang, setiap hendak salat subuh di musala, Matttali selalu melihat orang
mengendarai sepeda motor yang membawa kresek lalu membuang sampah di sungai.
Seperti tanpa memiliki beban. “Yang membuang sampah juga bukan warga sini, tapi
dari luar,” jelas pria kelahiran 22 September 1944 itu.
Mattali juga
merasakan jika kesadaran melestarikan lingkungan sungai lebih kuat dulu. Sebab,
pada masanya selalu ada kerja bakti sebulan sekali. Warga sekitar juga tidak
menunggu uluran tangan dari pemerintah. “Kalau dulu ditangani sendiri,
kepedulian mereka cukup tinggi,” ujarnya.
Begitu juga dengan
pepohanan yang masih menghijau di pinggir sungai. Seperti pohon bambu, yang
memang ditanam agar tidak terjadi erosi. Burung pun menjadi musik yang indah
setiap pagi.
Namun, kata lelaki
yang dituakan di daerah tersebut, perkembangan jaman telah merubah semuanya.
Kepadatan penduduk tidak diimbangi dengan fasilitas yang memadai, terutama
tempat sampah. “Tahun 2000-an pencemaran
sudah muncul, banyak yang buang sampah di sungai” akunya.
Sekarang, untuk melestarikan sungai pemuda harus begerak sendiri. Tidak menunggu
pemerintah atau yang lain. Terutama pemuda yang tinggal di sekitar sungai.
Begitu juga dengan para penghuni rumah di sekitar sungai, kesadaran harus
dibentuk.
Contoh kecil tidak
adanya kepedulian, kata Mattali, di sejumlah titik terdapat larangan membuang
sampah di sungai. Namun, hal itu dibiarkan dan hanya menjadi bacaan saja. “Mereka
mengerti tapi tidak mau berbuat,” tegasnya.
Pemuda sekarang
semakin abai dengan kelestarian lingkungan. Mereka tidak menatap masa depan
sungai Bedadung. Padahal, sungai itu akan digunakan sepanjang masa. Mulai dari
kebutuhan hidup atau mengaliri pertanian.
Kondisi sungai Bedadung
juga diresahkan oleh Sugiono, Ketua Rukun Warga (RW) 10 yang sejak kecil sudah
tinggal di daerah sana. Pria kelahiran 28 November 1964 itu banyak menghabiskan
masa kecilnya bermain di sungai tersebut.
Dulu, tegas dia,
kondisi air tidak seperti sekarang, yakni cukup jernih. Tak heran jika banyak
anak-anak semasanya menghabiskan masa kecil di kali Bedadung. “Airnya juga
banyak, tidak dangkal,” tambahnya.
Saking besarnya
arus sungai, setiap tahun pasti meluap hingga radius 70 sampai 80 meter.
Sehingga setiap tahun selalu banjir. “Meskipun banjir, tidak ada kotoran
sampah,” imbuhnya.
Waktu itu, lanjut
Sugiono, kondisi di pinggir sungai masih belum banyak rumah. Sebab, mereka
tidak berani karena arus sungai yang besar dan selalu meluap ketika hujan.
“Tapi, semakin lama air semakin menyusut, warga mulai berani bangun rumah di sana,”kata
Sugiono.
Tanaman pohon
bambu yang tujuan utama ditanam agar tidak erosi, mulai ditebang untuk
pemukiman warga. Sehingga semakin lama pohon punah, burung-burung pun pindah.
“Dulu setiap pagi, suasana sangat sejuk, kicau burung ramai, hewan musang juga
banyak,” ingatnya.
Dia menjelaskan,
problem utama yang dihadapi warga untuk menjaga kebersihan lingkungan sungai
adalah sarana-prasarana. Sebab, kondisi rumah warga yang berada di pinggir
sungai sangat berdekatan, tidak memungkinkan untuk membuat tempat sampah.
Akibatnya, sampah
dibuang ke sungai merupakan alternatif terakhir. Solusi dari pengurus RW dan Progam
Kesejahteraan Keluarga (PKK), yakni menawarkan pada warga untuk merekrut
petugas membawa sampah yang dibuang ke sungai dibawa Tempat Pembungan Sementara
(TPS). “Solusi itu tidak berjalan karena tidak ada respon positif, sehingga
sampah tetap menumpuk di sungai,” jelasnya.
Setiap tanggal 17
setiap bulannya, persoalan kebersihan sungai Bedadung dibahas dalam agenda
rutin pertemuan antara pengurus RW dan PKK. Namun, tidak menemukan solusi yang
pas mengatasi kelestarian sungai Bedadung.
Sebenarnya, aku
dia, warga sekitar sadar dengan pentingnya kelestarian lingkungan sungai
Bedadung. Namun, karena keterbatasan ekonomi dan SDM yang rendah, mereka tidak
bisa berbuat banyak. Akhirnya memilih jalan yang instan. “Yang membuang sampah
juga yang tinggal di timur sungai, yakni di Lingkungan Tegalboto,” tambahnya.
Pemerintah seharusnya bisa merespon kondisi tersebut.
Yakni menyediakan tempat sampah, seperti gerobak atau alat angkut sampah
lainnya. Karena kendala utama memang tidak ada fasilitas.
Diakuinya, kalau
hanya tingkat RW yang berbuat, tidak mungkin. Karena tidak ada anggaran. Sehingga
perlu sinergi antara masyarakat dengan pemerintah untuk merawatnya. “Seperti
penanaman pohon yang sangat memungkinkan,” ujarnya.
Bahkan, pemerintah
perlu membuat gerakan mengajak masyarakat yang melibatkan berbagai kalangan. “Papan larangan membuang sampah tidak direspon
karena tidak ada solusi tempat membuang sampah,” terangnya.
Tak hanya itu, perlu
membentuk pembinaan atau penyuluhan pada masing-masing RW di wilayah bedadung.
Agar mereka sadar dan tercerahkan
pentingnya melestarikan lingkungan. “Ada sekitar 10 RW yang tinggal di sekitar
sungai Bedadung,” paparnya.
Pelestarian
lingkungan merupakan tanggung jawab bersama yang harus disinergikan. Mulai dari
para pemuda, pemerintah, perusahaan atau lembaga lainnya. “Mereka harus bersatu
untuk mengatasi lingkungan,” jelasnya.
Masuk
Sungai Golongan C, Sebagian untuk Air Minum
Masa
depan sungai Bedadung bergantung pada masyarakatnya. Jika tetap dibiarkan
dengan kebiasaan lama, sebagai tempat sampah. Generasi masa depan akan mewarisi
air mata, bukan mata air. Padahal, air sebagian titik sungai itu diolah untuk
air minum.
Kegiatan Resik Kali yang dilakukan oleh sungai bedadung, digagas oleh berbagai komunitas anak muda di Jember |
12 September 2015
lalu, masyarakat dari berbagai kalangan tumpah ruah di Sungai
Bedadung. Mulai dari pejabat, komunitas, pemuda hingga warga sekitar. Mereka
ramai-ramai melakukan aksi bersama resik-resik kali. Dalam hitungan jam, sungai
langsung bersih seketika.
Namun, kebersihan
itu tidak bertahan lama. Sebab, sampah kembali berdatangan dari hulu. Terlihat
kotor, warga pun tak segan kembali membuang sampah disana. “Kejadian itu sesuai
dengan teori Habitus Pierre Bourdieu tentang habitus. Yakni kebiasaan yang sudah
menjadi kultur masyarakat,” kata Joko Mulyono, dosen sosiologi
FISIP Universitas Jember (Unej).
Pria yang juga
sebagai Sekretaris Pusat Penelitian Lingkungan dan Kebencanaan
Lembaga Penelitian (Lemlit) Unej menilai,
perilaku membuang sampah di sungai merupakan kebiasaan turun menurun dari warga
sekitar. “Karena kelihatan banyak sampah, yang lain mulai ikut, seperti para
pengedara yang melempar sampah dari atas jembatan,” ucapnya.
Menurut dia,
masyarakat belum memiliki paradigma jika sungai memiliki potensi yang besar.
Seperti tempat wisata, jika diolah bisa menjadikan pemandangan yang menarik.
“Seperti di negara lain, sungai dijaga keindahannya,” tuturnya.
Pria yang akrab
disapa Joko itu menilai, salah satu penyebab kebiasaan
tersebut adalah kondisi rumah berdempetan yang tidak memungkinkan membuat
tempat sampah. Begitu juga Tempat Sampah Sementara (TPS) yang terlalu jauh.
Di samping itu,
peraturan tentang kelestarian lingkungan masih lemah. Meskipun peraturan
dibuat, tapi penegakan dan kntrol dari pihak yang berwajib tidak ada.
“Pemerintah belum berani menindak karena belum tersedia sarana memadai,”
tegasnya.
Jika tidak ada
aturan yang jelas, keselamatan Sungai Bedadung
bisa terancam. Karena kondisi semakin parah, apalagi semakin banyaknya
perusahaan yang limbahnya dibuang ke sungai. “Kalau sekarang, hanya limbah
keluarga, tapi kalau industri sudah masuk, beda lagi ceritanya,” tegas dosen
kelahiran 20 Juni 1964 itu.
Permasalahan di Sungai
Bedadung begitu kompleks. Penyelesaiannya mulai dari hulu ke hilir. Selain
menyediakan lahan, juga perlu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan. “Kalau mau ideal, juga berdasarkan kajian lingkungan hidup
strategis,” jelasnya.
Jika diolah dengan
baik, kata Joko sungai tersebut bisa menjadi potensi yang menguntungkan bagi
warga sekitar. Namun, pemikiran warga atau pemerintah masih belum ke sana. Padahal, air di sungai itu juga dimanfaatkan sebagai air minum oleh PDAM. Ada titik yang diolah oleh PDAM sebagai air
minum di Kelurahan Tegalbesar.
Sungai itu masuk
klasifikasi golongan C yang diperuntukkan pengairan. Namun, keterbatasan sumber
air sungai tetap digunakan, tapi harus diolah. ditingkatkan ke golongan B, yakni baku air
bersih untuk minum, dan tetap diolah.
Pencemaran Sungai
Bedadung lebih banyak di daerah kota, bahkan semakin meluas. Badan sungai yang
seharusnya berjarak 15 meter dari tepi sudah tidak ada bangunan. Tapi
sekarang banyak dibangun rumah warga. Akibatnya, pepohonan semakin habis dan membuat daya
tangkap air semakin berkurang. Sehingga, ketika hujan, bisa menimbulkan erosi.
Penyelesain
masalah sunga bedadung diawali kesadaran masyarakat. Mulai dari hulu sungai
sampai hilir. Termasuk puluhan anak
sungai Bedadung. Berdasarkan data Dinas PU Bina Marga dan Sumber Daya Air
Pemkab Jember, Jember sendiri memiliki 246
buah sumber air. Namun, kondisi yang masih baik 160 buah. Sedangkan 86 sudah rusak. Kualitas dan kuantitas sumber
tersebut menurun.
Jumlah sungai
sendiri terdapat 123 buah, 31 diantaranya sudah rusak. Seperti daya tamping
melebihi dimensi atau penampang saluran yang ada. Sehingga, ketika curah hujan
cukup tinggi, sering terjadi luberan.
Permasalahan
lingkungan di Sungai Bedadung perlu melibatkan semua
kalangan. Mulai dari tingkat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) hingga
masyarakat. Seperti aksi resik-resik kali yang dilakukan komunitas anak muda.
Hanya saja,
pemerintah sendiri kewalahan menyikapi kebiasaan masyarakat yang masih membuang
sampah sembarangan. Beberapa titik sudah
dibuat TPS meskipun cukup jauh. Sayangnya, masyarakat malas untuk membuang
sampah ke TPS yang berjumlah 17 di daerah kota.
Sarana tersebut masih belum memadai. Seperti tempat
sampah, gerobak atau truk yang sedikit. Sementara setiap tahunnya, volume
sampah selalu meningkat sekitar 10 sampai 15 persen.
Putus
Mata Rantai Kebiasaan Buang Sampah di Sungai
Melestarikan
Sungai Bedadung membutuhkan kerja keras
dari berbagai kalangan. Terutama mengakhiri kebiasaan
membuang sampah di sungai yang sudah turun-temurun. Penyadaran
bisa dilakukan sejak dini, khususnya melalui
lembaga formal dan non formal.
Para pemuda dari berbagai komunitas di Jember saat membersihkan sampah di sungai bedadung |
Enam September 2015
lalu seorang ibu membawa anaknya membuang sampah di jembatan gladak kembar.
Padahal, di bawahnya mengalir sungai yang digunakan masyarakat untuk kebutuhan
hidup, mulai dari mencuci hingga mandi.
Setelah dibuang,
dia pulang tanpa terlihat rasa penyesalan di raut wajahnya. Kejadian itu bukan
hal yang baru.
Sebab sering ditemui pada tengah malam atau usai subuh.
“Saya masih percaya kebiasan itu bisa diubah melalui pendidikan,” kata Wahyu
Giri Prasetyo, pemerhati lingkungan Jember.
Menurut dia,
pendidikan formal dan non formal memiliki kontribusi besar untuk menciptakan
generasi yang peduli lingkungan. Sebab, mata pelajaran atau pendidikan hidup
bersih sudah diterapkan berupa aturan.
Baginya, yang
diperlukan adalah aksi berkesinambungan untuk melestarikan lingkungan.
Sehingga, lingkungan keluarga juga memiliki kewajiban mendidik anak berwawasan
lingkungan. “orang harus melakukan
kontrol terhadap anaknya,” tambahnya.
Menurut dia,
pendidikan lingkungan masih belum menyeluruh. Seperti peran orang tua dan
lingkungan warga sekitar. “Karena kalau hanya dilakukan di sekolah tidak bisa.
Persoalan lingkungan tanggung jawab bersama,”tuturnya.
Giri mencontohkan
kondisi Sungai Bedadung yang memprihatinkan. Mulai
dari kebersihan hingga maupun kualitas air. Bahkan, jumlah sampah yang dibuang
ke TPA jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, justru kurang. “Sisanya
dibuang kesungai oleh masyarakat,” akunya.
Hal itu dampak
dari kurangnya kepedulian dan kesadaran masyarakat. Karena mereka belum
merasakan secara langsung akibatnya. “Baru setelah ada bencana mereka mulai
tergerak sadar,” tambahnya.
Di samping itu, peran tokoh agama masih belum
maksimal. Terbukti jarang membahas persoalan lingkungan ketika ceramah.
Padahal, para para tokoh agama atau kiai memiliki pengaruh yang cukup besar.
Hal diakui oleh
pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Antirogo Robith Qoshidi. Jika kelestarian
lingkungan belum menjadi pembahasan utama oleh para tokoh agama. “Mereka
merawat lingkungan yang ada di dalam pesantren,” ungkapnya.
Padahal,
kelestarian lingkungan juga tak kalah penting dengan permasalahan sosial,
politik maupun ekonomi. Karena menyangkut hajat orang banyak. “Sikap terhadap
lingkungan masih cenderung reaktif, yakni ketika ada bencana baru bertindak,”
ucapnya.
Menurut Robith,
konsep melestarikan lingkungan dalam Islam sudah sangat jelas. Yakni wajib.
Namun, pelaksanaan dari ajaran tersebut masih dilakukan oleh sebagian orang.
“Tetapi pembentukan kesadaran terhadap generasi dilakukan sejak dini di
pesantren,” imbuhnya.
Seperti kajian
tentang fkih lingkungan hingga rutinitas agar
lingkungan sekitar terjaga dengan bersih. Sebab, ajaran itu bukan hanya untuk
diketahui, tapi diamalkan. “Antara teori dan praktek harus seimbang dalam
menjaga lingkungan,” tegasnya.
0 komentar:
Post a Comment