Resah terhadap rendahnya apresiasi
seni lukis, dirikan Komunitas
Melukis
tak bisa dipisahkan lagi dengan Yoyok, salah seorang pendiri komunitas sanggar
kunang-kunang. Komunitas yang bergiat pada seni lukis di Kabupaten Jember.
Baginya, melukis adalah panggilan jiwa
sejak kecil hingga sekarang.
Bagus Supriadi, Jember
Lelaki yang mengabdikan perjalanan hidupnya untuk melukis
itu tampak disela-sela pohon karet di Desa Kawangrejo, Kecamatan Mumbulsari. Pada
teduhnya pepohonan tersebut, ditemani istri dan anaknya, dia sedang melukis
petani yang sedang memanen padinya.
Dialah Yoyok Iswoyo, salah seorang pelukis Kabupaten
Jember yang giat menularkan seni melukis pada anak muda. Ketika ditemui Jawa Pos Radar Jember, dia menyambut dengan senyum sembari
menghentikan aktivitas melukisnya.
Foto Bagus Supriadi; Yoyok ketika sedang melukis ditengah pepohonan karet |
Jiwa melukis tersebut sudah tumbuh sejak mengenyam
pendidikan SD Kawangraya. Selain sebagai hobi, ada kepuasan yang tak
terbahasakan ketika selesai menggambar. Meskipun tak ada darah seni dalam
keluarganya, ayah dari dua anak tersebut
selalu merasa ada yang kurang bila melalui hari tanpa menggambar. “Waktu kecil
masih belum melukis, tapi selalu mengambar saja,” kata dia.
Kecenderungan mengambar terus mengalir ketika
dibangsu SMP hingga SMA. Secara otodidak, dia terus menekuni hobinya tersebut.
Namun, orang tuanya tidak terlalu menyetujui bila putranya tersebut total dalam
melukis. “Tapi saya berontak karena melukis itu jiwa saya,” ucap alumni SMPN
Mumbulsari tersebut.
Akibatnya, Yoyok tak mengenyam pendidikan bangku
kuliah setelah lulus dari SMA. Sebab, dirinya tak ingin kuliah bila kampus tersebut
tak sesuai dengan bakat yang dimilikinya. “Saya inginnya kuliah dijurusan seni saja
waktu itu,” tambahnya.
Walaupun begitu, dia tak menyerah begitu saja.
Melukis tetap menjadi aktivitas yang tak bisa lepas dari kehidupannya. Dia
terus mengembangkan potensinya dengan mencoba melukis menggunakan cat air.
Bahkan, karena keterbatasan biaya, kain kafan dan sarung sempat menjadi bahan
untuk melukis.
Selain itu, mencari jaringan pelukis
untuk mengembangkan bakatnya. Sebab, ketika bertemu dengan orang yang mempunya jiwa
sama, selain bertambah semangat untuk melukis, juga bisa diskusi untuk
mengembangkan seni melukis. “Setiap ada orang yang melukis, saya selalu
mendatanginya,” ucap alumni SMAN 3 Jember tersebut.
Saat itulah, dia memustuskan untuk menjadikan aktivitas
melukis sebagai perjalanan hidupnya. Bahkan, dia rela melepas jabatan menjadi
aparatur desa karena ingin fokus di dunianya, yakni melukis.
Berkat perjuangannya tersebut, kini dia telah
memiliki banyak teman pelukis. Bahkan, Yoyok yang menjadi penggagas utama
Komunitas Sanggar Kunang-kunang. Komunitas itu didirikan karena keresahan
terhadap apresiasi masyarakat Jember yang sangat minim pada karya seni.
Selain itu, minat para pemuda dalam bidang seni
masih sedikit. Hal tersebut dikarenakan peran pemerintah dalam mengembangkan
kesenian, terutama seni lukis sangat kurang. “Karena itulah, saya mengajak
teman-teman pelukis yang lain untuk membentuk komunitas,” ujarnya.
Komunitas tersebut ingin memberikan kesadaran kepada
masyarakat bahwa seni itu adalah keindahan. Selain itu, untuk melestarikan seni
melukis pada generasi muda baik. “Sebenarnya, melihat lukisan itu seperti
mendapatkan kedamain hati, namun sedikit yang melakukannya,” terangnya.
Untuk itulah, komunitas tersebut menggelar pelatihan
gratis bagi para siswa tingkat TK dan SD se Kabupaten Jember agar seni melukis
bisa diwariskan. Selain itu, komunitas yang terdiri dari 30 aggota pelukis
tersebut sering menggelar melukis bersama sebulan sekali. “Beberapa waktu yang
lalu, di alun-alun. Kami adakan disana karena ingin seni di Jember hidup. Jadi
kami ingin mengawali dari sini” tambahnya.
Diakuinya, perkembangan seni melukis di Kabupaten
Jember masih rendah. Selain masih belum ada ikon yang bisa dikunjungi. Peran
pemerintah juga rendah. Sehingga kegiatan yang dilakukan oleh komunitas
tersebut merupakan swadaya dari anggota. “Bahkan, kami terkadang malu jika ada
pelukis nasional yang hendak ke Jember, sebab, belum ada tempat,” akunya.
Akibatnya, lukisan yang dibuat Yoyok lebih sering
dikirim ke Bali. Sebab, disana sudah ada galery yang menampung karyanya. Dalam
sebulan, dia mampu mengirim sebanya 20 lukisan. “Bulan ini masih ada 60 lukisan
yang belum dikirim,” ujarnya.
Menurutnya, para pelukis di Jember selain kesulitan
tempat memamerkan karyanya, juga sedikit yang peduli dengan karya pelukis
tersebut. Tak ayal, bila mereka mengirim lukisan ke luar kota. “Sehingga kami
mengikuti pameran di Bali, Banyuwangi maupun Surabaya,” tambahnya.
Beberapa karya Yoyok di dalam rumahnya |
Bahkan, dirinya pernah mengajukan lukisannya untuk
dititipkan di salah satu galery di Jember. Namun, ditolak mentah-mentah karena
tidak akan laku. Tapi bukan Yoyok kalau menyerah begitu saja, lukisan tersebut
akhirnya bisa dipajangkan. Selang, dua jam kemudian, dia dihubungi oleh pihak
galeri jika lukisan yang ditolaknya tersebut ada yang tertarik untuk membeli.
“Pemilik galery itupun meminta saya melukis hal yang sama, tapi saya tidak
mau,” akunya.
Hal yang hingga saat ini tak dapat ditinggalkan oleh
Yoyok adalah kebiasaannya membawa buku gambar setiap bepergian. Sebab, ketika
melihat sesuatu yang mendatangkan inspirasi, dia segera menuangkannya pada
selembar kertas. “Bahkan kertas tersebut sudah bertumpuk-tumpuk,” akunya.
Lelaki kelahiran 12 Janurani 1975 tersebut berharap
agar kesenian di Kabupaten Jember terus diperhatikan, tidak hanya bagi
pemerintah, namun semua kalangan. Sebab, salah satu kemajuan daerah bisa diukur
sejauh mana perkembangan keseniannya.
EmoticonEmoticon