Sony Hidayat, salah satu
pelukis jalanan yang tetap bertahan.
Beberapa
kali ditayangkan di televisi saat melukis Mbah Marijan
KARYA: Melukis foto orang selain
hobi, juga merupakan profesi (Foto Bagus Supriadi) |
Menjadi pelukis dipinggir jalanan bukan hal yang mudah, sebab beberapa
kali ia harus pindah karena terkena razia Satpol PP. Namun karena ia yakin
bahwa yang dikerjakannya adalah tentang keindahan, ia tetap bertahan melukis
dipinggir jalan sampai dikenang zaman.
Dia sedang
melukis gambar seorang perempuan, beberapa saat kemudian, dua perempuan datang
lagi melihat lukisan-lukisan yang di pajang di pagar gedung DPRD Jember
tersebut, lalu kedua perempuan tersebut menanyakan berapa harga untuk satu
lukisan.
Lelaki yang
memakai topi hitam tersebut tampak menjelaskan dengan rinci harganya, lalu
setelah jelas, mereka pulang karena belum membawa foto untuk dilukis, lelaki
itupun memberikan nomor teleponnya yang ditulis di sebuah lukisan.
Begitulah
rutinitas dari Sony, 40, lelaki asal Kota Lumajang yang telah lama menjadi pelukis
di pinggiran jalan. Dia menceritakan bahwa bakat melukisnya sudah mulai ada
sejak di sekolah dasar (SD). Selain itu ayahnya juga memiliki bakat dalam dunia
melukis. Sehingga Sony semakin giat belajar melukis.
Meski tak sempat mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi, berkat ketekunannya, ia kini menjadi sosok yang terampil dalam melukis.
“waktu Itu ga ada biaya untuk kuliah Mas, mahal” ucapnya.
Pilihan untuk
menjadikan bakatnya tersebut sebagai profesi dalam mencari uang, ia mulai sejak
tahun 2001. awalnya, melukis gambar orang merupakan hobi, namun karena ada
beberapa temannya yang pesan dan semakin hari semakin bertambah, akhirnya dia
memilih profesi tersebut sebagai penghasilan.“Karena saya yakin bisa, akhirnya
saya teruskan,” ucapnya sambil melukis.
Pertama kali
memulai profesinya tersebut, Sony, sapaan akrabnya, membuhkan modal uang
sekitar Rp 100 ribu untuk membeli kertas, kuas, tinta maupun serbuknya. Namun
setelah semakin banyak pesanan, dia semakin memperbanyak contoh lukisan dengan
figura.
Sebelum
menempati di depan gedung DPRD Jember, Sony, sapaan akrabnya, sempat melukis di
daerah pojok Matahari, namun karena dirazia oleh Satpol PP, akhirnya dia
pindah. Setelah diusir tersebut, lalu dia pindah ke Banyuwangi. Selama tiga
tahun, namun pindah kembali ke Jember.
Saat di
Banyuwangi. Sony pernah melukis sosok Mbah Marijan ketika gunung merapi
meletus, sehingga dia didatangi para wartawan untuk diliput, karena lukisan
tersebut menggambarkan sosok yang terjadi hari ini, atau sesuai dengan
momentum.
Selain itu, di
pinggiran jalan tersebut, dia pernah melukis sosok kandidat para calon bupati
Banyuwangi waktu itu, yakni Azwar Anas, Jalal dan Emilia Contessa. Alhasil lukisan
tersebut dibeli oleh mereka.
Tarif harga dari
lukisan Sony bervariasi, sesuai dengan ukurannya, untuk ukuran 10 R dipasang
dengan harga Rp 125 ribu, 12 R Rp 200 ribu. “Harganya relatif Mas, kalau bagus
ya lebih mahal,” tambah bapak dari tiga anak tersebut.
Dalam satu hari,
Sony bisa menghasilkan lukisan sebanyak lima lukisan, karena satu lukisan bisa
diselesaikan dalam jangka waktu tiga jam. Tapi karena lebih mementingkan
kualitas, Sony memilih untuk satu hari sebanyak dua lukisan saja.
“tergantung
fotonya, kalau fotonya kecil, resolusinya rendah, jadi lebih lama Mas,”
tambahnya.
Selain itu, Sony
juga pernah mengajar pada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah selama 3 bulan,
bahkan pernah memberikan privat tentang teori melukis, namun karena
kesibukannya, ia akhirnya berhenti.
Ketika
ditanyakan mengapa tidak membuka kursus melukis untuk menularkan bakat
melukisnya, dia mengakatakan bahwa sampai saat ini masih belum sempat.
Sony tetap
bertahan dengan profesinya sebagai pelukis jalanan karena menikmati apa yang
dikerjakannya, sebab kalau berhenti, dia harus memulai dari nol lagi. “Saya
bekerja melukis ini, ya sampai sudah gak mampu melukis lagi Mas,” kata
Sony.
Sampai saat ini,
dia berkeinginan untuk terus mengembangkan seninya, yakni melukis dengan cat,
memiliki gallery. Namun harus bertahap, karena membutuhkan modal yang
tidak sedikit. “Kalau punya gallery,
enak Mas, gak kehujanan,” ujarnya.
Setiap hari, dia
melukis foto dengan lukisan hitam putih, sesuai dengan permintaan pemesan. Yakni
lukisan realis atau yang kartunis. Dia tidak khawatir dengan adanya lukisan yang
menggunakan tekhnologi, seperti komputer, sebab karya tersebut tidak akan kalah
dengan hasil dari tekhnologi, karena hasil karya tangan sendiri..
Sebenarnya Sony juga
ingin bergabung dengan komunitas para pelukis Jember, seperti yang pernah
diikutinya ketika di Banyuwangi. Namun karena dia memiliki waktu yang terbatas,
akhirnya dia menahan keinginan tersebut.
Dia berharap
pada pemerintah agar bisa menfasilitasi usahanya tersebut dengan memberikan
tempat agar dia bisa lebih leluasa dalam melukis.
Selain Sony,
pelukis jalanan yang lain adalah Samuji, 39, yang memilih depan SMAN 2 Jember
sebagai tempat melukisnya. Awalnya, dia juga sama dengan Sony, yakni di sekitar
matahari, namun karena dirazia Satpol PP, dia pun pindah.
Samuji, pelukis jalanan yang tetap bertahan. (Foto Bagus Supriadi) |
Aji, panggilan
akrabnya, mengatakan memang memiliki bakat melukis sejak kecil, namun dia
menfokuskan bakat tersebut menjadi pekerjaan pada tahun 2003 silam. Sehingga
dia menjadikan bakatnya tersebut sebagai profesi dalam mencari penghasilan pada
tahun 2005.
Proses
penggarapannya pun tak jauh beda dengan Sony Hidayat, yakni melukis membutuhkan
waktu sekirtar 3 jam dengan harga yang sama. Baginya, melukis dengan kanvas
tersebut tidak bisa dibandingkan dengan menggunakan komputer, sebab lukisan
yang dihasilkan dari karya tangannya tidak akan pernah mati.
Dia memang
memilih berada di pinggir jalanan, tidak di gallery karena lebih mudah
dijangkau oleh masyarakat. Sebab di gallery terkesan dengan harga mahal.
“Kalau di sini lebih dekat dengan masyarakat,”tandasnya.
Sama halnya
dengan Sony, dia akan tetap melukis sampai tak bisa berkarya lagi. Sebab
melukis baginya, selain sebagai hobi, juga merupakan wadah untuk melanjutkan
kehidupan. (Bagus Supriadi)
EmoticonEmoticon