Batik Sumberjambe, Bertahan
di Tengah Gempuran Zaman
Punya Khas, Pembatik Harus Kreatif
Cari Motif
BERAGAM MOTIF : Para perajin mewarnai kain sebelum menjadi batik Labako di Desa Sumberpakem Sumberjambe Jember |
Sentra kerajinan batik di Desa Sumberpakem Kecamatan
Sumberjambe merupakan warisan turun temurun dari leluhurnya. Selain
melestarikan budaya bangsa sendiri, batik yang
ada sejak zaman Belanda itu juga memberdayakan masyarakat
sekitar.
BAGUS SUPRIADI
JEMARI
para perajin batik di Desa Sumberpakem Kecamatan Sumberjambe itu terlihat
begitu terampil. Dengan sesekali
diiringi canda tawa kecil, mereka terus melukis pada kain putih cikal bakal
batik. Sebagian
dari mereka ada yang sedang mencelupkan kain yang sudah dilukis, lalu direndam kembali agar pewarnaannya semakin
tua. Sedangkan Mawardi, salah satu
pemilik bati sibuk melayani
tamu yang hendak melihat karya batik Sumberjambe.
Aktivitas
para pembatik tersebut sudah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda,
sekitar tahun 1937. Dan hingga kini
masih berusaha tetap dipertahankan
karena sudah menjadi budaya bangsa. Selain itu,
dengan membatik tersebut, masyarakat bisa terberdayakan.
Salah seorang generasi membatik
tersebut adalah Mawardi yang mengaku
meneruskan kerajinan membatik dari nenek moyangnya. Sejak kecil dia mengaku sudah dikenalkan dengan batik sehingga kecintaannya pada membatik telah sama
seperti kecintaannya pada Indonesia .
Selain sebagai salah satu bukti
kecintaan pada budaya, kerajinan batik juga bisa dijadikan wadah untuk mencari
penghasilan. Sampai
saat ini, dia telah memiliki puluhan karyawan. “Kami ingin tetap melestarikan
budaya batik ini. Karna masyarakat terkibat dalam proses pembuatannya, sehingga
dia bisa merasakan hasilnya” ujar Mawardi
Untuk menularkan kecintaan para
pemuda pada batik, salah satunya dengan mengajak para siswa dari beberapa
sekolah untuk belajar membatik. Selain sebagai pengenalan, juga merupakan
pembelajaran. “Disini sering ada kunjungan dari tingkat TK hingga perguruan
tinggi, selain mengenalkan batik, juga belajar cara membuatnya,” tambahnya.
Awalnya, pembuatan batik yang berlokasi di
rumahnya tersebut hanya batik tulis, namun kini telah bertambah menjadi batik
semi tulis dan batik cap. Sebab, hal itu dilakukan untuk mengimbangi laju perkembangan
zaman. “Jadi kami setiap hari harus kreatif mencari motif yang baru,tak hanya motif tembakau,” imbuhnya.
Proses pembuatan batik tersebut
bermacam-macam. Ada yang sampai lima tahapan. Yakni kain putih tersebut dicanting, lalu
diwarnai, setelah itu dicelup beberapa kali sampai warnanya kelihatan tua, sedangkan
tingkat kesulitan dari membatik ini yakni pada pewarnaan.
Batik tulis lebih banyak
dipesan karena hasilnya memang lebih bagus meski pembuatannya lebih lama. Bahkan pemesanan
tersebut sampai dari daerah luar Jawa, seperti Medan
dan Yogyakarta sendiri. “Jadi terkadang kami
saling studi banding, melihat karya dari maasing-masing pengerajin batik dari
berbagai daerah,” katanya.
Kini, dia telah memiliki
pelanggan tetap, baik dari sekolah maupun perguruan tinggi. Meskipun begitu,
terkadang ada tukar karya batik Sumberjambe sendiri dengan batik luar daerah.
Seperti batik Madura maupun batik Pekalongan. “Bahkan yang sering dari para
mahasiswa yang terkadang penelitian, lalu setelah tahu pesannya
disini,” tambahnya
Kontrak kerja dengan para
pengerajin tersebut yakni bersifat borongan. Para
pengerajin akan digaji sesuai dengan borongan yang diterimanya. Karena
pemesanan dari batik labako sendiri selalu penuh sehingga warga terkadang membawa kain kerumahnya
untuk lembur membatik.
Di
antara pembuat batik tersebut, salah satunya adalah Susilowati, dia mengatakan
bahwa dirinya terbantu secara ekonomi. Sebab bila tidak ada kegiatan membatik
tersebut, dirinya akan menjadi buruh tani. Selain
itu, dia merasa menikmati pekerjaan membatik tersebut, karena dia bisa membawa
batiknya ke rumah. Baginya, pekerjaan membatik butuh keuletan dan kesabaran.
Namun, setelah karyanya selesai, dia bisa menikmati hasilnya.
EmoticonEmoticon