Rabu 27 November 2013, setelah hujan deras menyisakan
gerimis, aku berangkat dari Bondowoso melawan hujan yang tersisa. Jalanan yang
basah membuatku berhati-hati agar tak terpeleset. Kurang lebih setengah jam,
aku tiba di Besuki dan berhenti sejenak untuk melepas jas hujan yang masih
basah oleh butir-butir hujan.
Aku kembali melanjutkan perjalan, Besuki telah
terlewati, aku tiba di Kraksaan disambut dengan hujan deras, aku berhenti dan
mengenakan kembali jas hujan, untuk kemudian melaju menuju tempat persinggahan
di Gending, guna menjemput teman.
Tepat pukul 15.00 WIB aku tiba di Gending. Di warung
kopi depan kantor cabang PMII Probolinggo, aku diam selama satu jam menanti
hujan reda. Hujan kembali menyisakan gerimis, aku pun kembali melawannya, sebab
hujan bukanlah alasan untuk tidak melangkah. aku kembali berangkat dengan
tujuan Pamekasan-Madura.
Tepat di kota Probolinggo, sepeda motor ber-merk
Suzuki Spin yang ku tumpangi berhenti di bengkel untuk menambah angin ban. Lalu
kembali berangkat dengan laju kecepatan yang lebih tinggi, hingga hujan kembali
menyambutku ketika sampai di Pasuruan, namun kali ini aku tak berhenti.
Matahari telah tenggelam saat aku tiba di Sidoarjo,
berhenti di Pom bensin. Lalu menerobos lalu-lintas sidoarjo yang tak pernah
sepi dari kendaraan. Tanpa terasa, Surabaya sudah di depan mata. Dengan terus
berkejaran bersama kendaraan lainnya, aku terus berpacu seperti tak pernah
lelah.
Lalu, jembatan suramadu sudah tampak di depan mata
tepat pada pukul 19.34. di jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura ini,
aku ingin menikmati kerlap-kerlip lampunya, dan memandangi rumah-rumah yang
penuh dengan cahaya.
Jembatan suramadu telah terlewati, tanpa terasa pula
bahwa diri ini sampai di Bangkalan dengan selamat, sebelumnya, aku ucapkan
salam pada kota ini dalam hati. Lalu aku menepi di salah satu warung dan
memesan mie ayam. Cukup lama aku diam di tempat ini mengistirahatkan tubuh yang
agak lelah sambil menikmati secangkir kopi dan rokok.
Setelah lelah ini agak terobati, aku melanjutkan
perjalanan, dengan rute perjalanan Bangkalan-Sampang dan Pamekasan. Sepeda
motorku melaju dengan kencang, dan berhenti di Pom bensin Bangkalan.
Jalan jalur Bangkalan-Sampang tak begitu halus, ada
beberapa jalan yang rusak, bergelombang dan berlobang, ditambah dengan gerimis
yang henti-hentinya. Hari itu, kesimpulanku bahwa hujan merata di beberapa
daerah.
Perjalanan ini cukup membuat dahaga, aku sampai di
alun-alun Sampang dan memesan es Joshua. Di warung ini, aku bercakap-cakap
dengan orang asal Tuban yang menetap di Sampang, saat ku Tanya, ia adalah
sekretaris KPU sampan.
Tak sampai habis es yang kupesan, aku melanjutkan
perjalanan menuju kota tujuan, Pamekasan. Tak sampai satu jam, aku sudah
memasuki gerbang salam, Pamekasan. Tepat jam 00.00 aku telah sampai di rumah
teman dan hendak beristirahat. Tubuhku memang lelah, tapi mata ini tetap ingin
menyala, hingga kubiarkan ia redup dengan sendirinya.
Aku terbangun ketika ayam berkokok, sedangkan
matahari masih sembunyi di peraduannya. Ku tuangkan air Pamekasan pada wajahku,
lalu melaksanakan sholat shubuh. Setelah itu, aku merasa enggan untuk tidur
kembali, aku ingin menikmati suasana baru di Nyalabu daya, Kota Pamekasan.
Pagi itu begitu jelas, tanah yang kupijaki berwarna
merah, hawa panas mulai terasa, matahari tak seperti yang kurasa saat di jawa,
disini lebih menyengit, mungkin karena berada di tengah laut.
Hari itu adalah Kamis, jarak waktu dari Kamis pagi
hingga sore, aku merasakan sesuatu yang tak kuinginkan. Entahlah, tuhan mungkin
memiliki rencana yang lain. Tapi saat itu, aku benar-benar merasakan puncak
dari kegelisahan, dan sepertinya tak ada kata-kata yang pas untuk selera
hatiku.
Betapa tidak! Tangga-tangga yang telah aku susun
kini telah roboh, setelah aku sampai pada tangga yang paling tinggi, dan hendak
menjemput mimpi. Saat itu, nuraniku selalu berkata bahwa tinggal satu langkah
lagi untuk mencapai impianku. Ya, memang tinggal selangkah lagi, namun apa
daya? Satu langkah itu terhenti tanpa ku ketahui sebelumnya. Apakah ini memang
rencana tuhan atau siapa? Entahlah!
Pada apa yang sedang melanda hatiku, aku menulis
begini
Dari dulu, tuhan telah menegurku
Namun aku terlalu nyenyak dalam
tidurku
Dan hanyut pada mimpiku
Saat itu, aku benar-benar menikmati
mimpi
Hanya saja aku tak begitu tau
Kalau itu hanyalah keindahan semu
Yang ia kirimkan sebagai bunga
kehidupan
Diam diri tak menyembuhkan kegelisahan, siang agak
menjelang sore, aku jalan-jalan ke alun-alun Pamekasan dan melihat dengan nyata
seperti apa Arek Lancor. Aku tak begitu terkejut melihatnya, bangunan yang
menurutku tidak terlalu menarik. Aku lebih tertarik dengan arsitektur masjid
jami As-syuhada’. Di dalamnya, aku merasakan kedamain dan ketenangan.
Setelah menghabiskan waktu melihat aktivitas manusia
di alun-alun, tak ada yang istimewa dari hal ihwal perbuatan mereka, menjelang
maghrib aku kembali kerumah teman. Selepas maghrib, agar kegelisahan hati ini
tak menumpuk, aku mengunjungi api tak kunjung padam.
Disini , aku tak begitu menikmati, lagi-lagi tak ada
yang istimewa, apakah mungkin karena hati ini sedang tak mood. Jagung bakar yang ku panggang sendiripun seperti tak terasa.
Di sini pula, aku seperti melihat api yang terus menyala itu memanggang hatiku.
Aku kembali pulang tetap dengan kekosongan hati,
sepanjang perjalanan pulang, aku ingin menikmati malam Jumaat ini. Namun
setibanya disana, aku tak bisa. Aku memilih memaksakan diri untuk memasuki
dunia mimpi.
Lalu pagipun menyapa, setelah malam diguyur hujan
dan menyisakan gerimis pada keesokannya. Hari Jumaat, aku semakin merasakan
tidak nyaman di kota ini, aku ingin segera pulang. Kulihat sepeda motorku yang
sudah kalah dengan perjalana, betapa tidak! Ban belakang dan depan harus
diganti, rem belakang putus, serta mesin yang minta di service. Jumat pagi itu kulewati dengan memperbaiki sepeda motor
hingga siang hari.
Sore hari aku berpamitan pulang, namun masih mampi
ke Batu Ampar, makam para Ulama’ Pamekasan. Di sini, aku sempatkan mengaji
sebentar sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan ini.
Aku pulang, dengan membawa hati yang karam. Aku
seperti tak kenal arah, dengan kecepatan penuh, aku melaju begitu kencang.
Melampiaskan kegelisahan hati yak tak sembuh. Aku tak berhenti, terus mengejar
matahari hingga ia tenggelamkan dirinya. Untuk kepulanganku, aku menulis begini
Matahari memandangiku
Matanya merah, seperti marah
Melihatku yang tak sempat
Menikmati keindahan
O matahariku
Aku datang dengan hati membara
Membawa cinta
Pulang dengan duka tiada tara
Melepas segalanya
O matahariku
Tenggelamkanlah rasa ini
Setelah Sampang kembali terlewati, di Bangkalan aku
disambut hujan deras, aku menepi dan berteduh. Beberapa waktu kemudian reda,
aku kembali meneruskan kepulanganku yang saat itu sudah hampir pulang nama.
Andai saja tuhan tak menyelamatkanku, mungkin saja kisah yang kutulis ini
berakhir sampai disini. Tapi tuhan memang punya rencana yang lain. Aku
terselamatkan.
Aku memelankan sepeda motor setelah hati kembali
seperti tertusuk oleh kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawa. Rute
kepulanganku yakni singgah di makam Syaikhona Kholil Bangkalan.
Pukul 20:09 aku tiba di makam Syaikhona, ku pandangi
kemegahan masjidnya, dan kembali kutemukan kedamaian dan ketenangan. Di serambi
masjid itu, aku duduk sambil menikmati arsitektur masjid serta melihat pada peziaroh
yang silih berganti.
Di tempat ini, aku tak ingin segera pulang, aku
ingin berlama-lama menikmati keindahannya. Aku mendatangi pedagang kaki lima
yang menjual kopi, lalu aku memesannya agar tak mengantuk. Kopi tak habis, hati
kembali gelisah.
Aku meneruskan perjalanan, meninggalkan Madura yang
terpisah oleh laut dan terhubung oleh jembatan Suramadu. Meninggalkan pulau
ini, kegelisahanku semakin bertambah, aku ingin merindukan pulau ini, bila aku
merindukannya, aku akan merindukan makam para walimu. Kalaupun aku merindukan
sang kekasih, itupu hanya kekasihmu tuhan.
Melintasi jembatan Suramadu, aku berkata dalam hati,
salam dan selamat tinggal pulau kenangan. Kenangan yang telah mengajarkanku
kehidupan, menjadi lebih baik, sebagai hamba tuhan, sebagai manusia biasa dan
sebagai pecinta menginginkan cintamu.
Kini, jalan di Surabaya begitu sepi, kalaupun ada
kendaraan, bisa dihitung dengan jari. Malam telah mengubur mimpi-mimpi hidup
manusia, membawanya ke alam mimpi yang tak nyata, kembang tidur.
Jalan ini seperti milikku, aku begitu leluasa
menggunakannya. Tujuanku selanjutnya ke makam Sunan Ampel, untuk sekedar
menyendiri, mencoba mencari cinta sejati, menenggelamkan hati dan berbicara
pada ruh-ruh yang terus hidup. Mengadukan nasib pada yang kuasa, melewati para
kekasihnya.
Selesai bermesraan dengan kekasih tuhan, aku kembali
melangkah dengan tenang, angin malam menembus dada, meresapi celah-celah baju
yang kupakai. Saat itu pukul 03.00 WIB dini hari. Menelusuri jalan
Surabaya-Pasuruan, mengharap matahari belum bangun dari peraduannya sebelum aku
tiba di Pasuruan.
Pukul 04.54 WIB aku sudah tiba di alun-alun
Pasuruan, dan lagi, aku selalu terkesima serta
jatuh cinta pada masjid-masjid yang berasitektur indah. Usai sholat
shubuh, aku kembali menghadap kekasih tuhan, makam Kiai Hamid Pasuruan.
Di sini, aku kembali mengadukan kegelisahan hati,
menyampaikan rasa yang tak mampu dikeluarkan kata. Lalu matahari tersenyum menatapku.
Aku pun membalasnya senyumnya dengan secangkir kopi di alun-alun Pasuruan.
aku meneruskan perjalanan, sampai di Gending pukul
06.00 WIB. Lelah sekali tubuh ini, aku ingin merebahkan diri meski mata tetap
menyala.
Sampai disini, aku mengakhiri cerita, dengan mata
tertutup, dengan hati membara. Untuk akhir ini, aku menulis begini
Akhirnya
Aku harus berperang melawan diri
sendiri
Mengalahkan keinginan yang
menggunung
Bersama hati nurani yang terus
berteriak
Mengusirku dari laut yang gemuruh
Bersama angin aku pergi
Menabur bunga di samudramu
Lalu ombak menelannya
Dan hilang…
EmoticonEmoticon