Aku
tak mengerti apa maksud dari segala tindakan yang dilakukan oleh tuan guru,
sebagai seorang murid aku hanya mentaati segala perintahnya. Dan aku tak berani
untuk berkomentar sedikitpun tentang apa yang telah diperbuatnya. Karena aku
yakin, jika apa yang dilakukan oleh tuan guru memiliki tujuan dan alasan yang
jelas.
Sedangkan
hati ini selalu terbujuk untuk menafsiri segala tindakan tuan guru, ingin
mencoba mengungkap tabir dengan segala keterbatasanku. Terkadang pula, aku
dihantui rasa bersalah jika keluar satu katapun dari mulutku yang menafsirkan
tentang tindakan tuan guru.
Setiap
pagi hari menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan oleh tuan guru, mulai
dari mengisi air, mencuci pakain, membersihkan rumah serta mempersiapkan
kendaraan tuan guru. Terkadang Jika tuan guru berkehendak, aku yang disuruh
mengendarai mobilnya mengantar tuan guru ke tempat yang dekat saja, jika jarak
jauh, ia menyuruh sopir pribadinya.
Setiap
harinya, tuan guru selalu keluar, menghadiri undangan dari masyarakat bawah
sampai tingkat elit. Beliau tidak pernah membeda-bedakan status setiap orang,
baginya sama saja, entah itu pejabat, petani atau nelayan.
Selain
mengisi pengajian, tuan guru menjadi rujukan bagi siapapun yang memiliki
keperluan. Seringkali beliau kedatangan tamu politisi dari yang hendak
mencalonkan diri sebagai kepala desa sampai mencalonkan sebagai Presiden. Dan aku
tidak tau apa yang dibicarakan beliau dengan mereka, tugasku hanya mengantarkan
kopi atau teh ke dalam, setelah itu keluar lagi.
***
Akhir-akhir
ini, perbincangan tentang pemilihan kepala daerah begitu ramai, dari warung
kopi pedesaan sebelum para petani berangkat kesawahnya, kantin mahasiswa dengan
argumen-argumen ilmiahnya, apalagi di tingkat pemerintahan dengan segala
manuvernya.
Diskusi-diskusi tentang pemilihan
kepala daerah ini tak akan pernah selesai meskipun selesai pelaksanaannya,
beberapa pendukung dari masing-masing calon menyebarkan baliho calon yang didukungnya
di setiap jalan, di beberapa deretan rumah masyarakat kampung tertempel stiker para
calon, entah mereka tau atau tidak dengan foto di stiker tersebut.
Berbagai macam kampanye telah
dilakukan, dari dukungan para tuan guru,
tokoh masyarakat hingga masyarakat awam yang rela mengecat tubuhnya dengan
gambar calon, membikin kepalanya botak dan menulis nama calon di atasnya.
Calon dengan nomor urut pertama
yakni kepala daerah yang mencalonkan kembali
dirinya sebagai kepala daerah, namanya Bima, yang kedua berasal dari seorang pengusaha, yakni
Sugi, yang ketiga, putri mantan bupati periode sebelumnya, bernama Shima yang kini banyak disukai masyarakat karena
kecantikannya, Yang terakhir adalah putranya seorang tuan guru terkenal di daerah ini,
namanya Gus Muroqib.
Empat
calon kepala daerah di kabupaten ini sedang gencar-gencarnya mencari dukungan
dengan berbagai cara. Namun, sepandai-pandainya mereka berkampanye bila tanpa
ada uang saku buat pendukungnya, sepertinya sia-sia belaka.
Beginilah
zaman sekarang, yang menjadi tolak ukur adalah uang, tak ada suara yang tak
terbeli, jika ingin menang sebagai kepala daerah, lihat dulu seberapa banyak
uang yang dimiliki dan ditaburkan pada masyarakat awam. Semakin besar ia
menebar jumlah uang, maka semakin banyak
suara yang didapatkan. Tak ada yang tak bisa tanpa uang hari ini.
***
Tuan guru yang selalu menjadi
rujukan bagi setiap orang yang ada keperluan, selalu menjadi perbincangan
masyarakat.
“tuan guru pilih siapa, jika tuan
guru pilih Bima, maka aku akan berpindah padanya” ungkap salah satu warga di
warung kopi.
“tuan guru tidak pilih siapa-siapa,
paling-paling beliau memasrahkan pilihan itu sesuai dengan hati nurani kita
masing-masing,” tambah warga yang lain menebak-nebak.
“kalau aku tidak ikut tuan guru, siapa
yang paling banyak ngasi uang, itu yang kupilih. Sekarang zaman uang pak, kita
butuh uang buat makan sehari-hari.”
Beberapa masyarakat ada yang sedang
menantikan sikap tuan guru tentang pilihannya, ia berpendapat jika pilihan tuan
guru merupakan pilihan yang bebas dari kepentingan manapun. Tuan guru tak akan pernah
mementingkan dirinya sendiri, kelompok, maupun kepentingan partai. Ia hanya
memilih yang terbaik bagi kemakmuran rakyat.
Sedangkan di beberapa kampus, ada
sebagian mahasiswa yang telah menentukan pilihannya dengan membentuk
komunitas-komunitas pendukung calon. Karena pemilihan kepala daerah tinggal
satu bulan lagi. Komunitas tersebut memiliki penyumbang dana yang jelas untuk
mencari suara sebanyak mungkin.
Sekali
lagi, tak ada yang tak terbeli dengan uang, sebab Idealisme sudah seperti
komoditi, kalaupun ada, itu bisa dihitung dengan jari. Yakni hanya mereka yang
berani hidup susah tanpa uang, memegang teguh pada kebenaran. Yang apatis pun,
bila melihat uang, mata mereka berubah menjadi biru
***.
Suatu
hari, ketika tuan guru kedatangan tamu dari calon kepala daerah yakni Sugi, aku
mencoba mengintip apa yang hendak mereka bicarakan, walaupun hati nuraniku
berkata tidak, aku tetap memaksakan diri.
“tuan
guru, saya siap menjalankan amanat jika terpilih sebagai kepala daerah.
Program-program untuk mensejahterakan masyarakat menjadi tujuan utama kami.
Adapun tentang pembangunan, pendidikan dan yang lainnya, telah kami bahas jauh
sebelumnya,” Ucap salah satu juru bicara Sugi.
“bagus
itu jika itu yang kalian programkan,” jawab tuan guru
“hanya
saja kami butuh dukungan untuk mencapai target kemenangan, kira-kira tuan guru
bersedia untuk membantu kami dengan dukungan dari tuan guru.”
“mau
bayar berapa kalian jika saya dukung?”
Pertanyaan
tuan guru membuatku terkejut. Aku diam dan tetap menguping dari luar.
“berapapun
yang tuan guru inginkan, kami bersedia memberikan.”
Tiba-tiba
salah satu dari mereka mengambil sesuatu dari dalam tas dan memberikan pada
juru bicara.
“ini
hanya awal dari kami tuan guru, jumlahnya dua ratus juta,” Ucap juru bicara itu
sambil menyodorkan amplop berwarna coklat.
“owh
ya sudah dipegang saja dulu uang anda, saya masih belum membutuhkan”
Beberapa
menit kemudian, para tamu itupun pulang. Mobil-mobil yang diparkir di depan
rumah tuan guru kini telah beranjak pergi. Kini sepi, dan hari mulai gelap.
Seminggu
kemudian, tuan guru didatangi oleh tamu yang juga mencalonkan sebagai kepala
daerah. Yang datang pada malam ini adalah Bima dengan beberapa pengawalnya.
Kebetulan tuan guru sedang keluar sejak tadi siang. Aku bilang, jika mau
dinanti, barangkali sebentar lagi beliau datang. Mereka mengiyakan saranku. Dan
tak lama kemudian tuan gurupun datang.
Seperti
biasa setelah membawakan kopi untuk para tamu, aku mengintip pembicaraan mereka
di luar.
“begini
tuan guru, kedatangan kami yang pertama untuk silaturrohim, selain itu,
karena pemilihan kepala daerah ini tinggal tiga minggu lagi, kami mengharap
dukungan suara dari tuan guru, karena walau bagaimanapun, beberapa warga
masyarakat sedang menantikan pilihan dari tuan guru. Mereka tetap sami’na wa
atho’na pada tuan guru.”
“”owh
begitu, berapa yang kalian sediakan buat saya jika aku mendukung kalian?” balas
tuan guru.
“kami
siap memberi apa saja yang tuan guru mau jika kami terpilih nanti.”
Seperti
sebelumnya, ada seseorang yang mengambil sesuatu di dalam tas dan menyerahkan
pada juru bicara.
“ini
sebagai hadiah dari kami buat tuan guru, bila tuan guru berkenan, nanti akan
kami tambah lagi”
“ah
tidak usah repot-repot, saya masih punya kalau cuma hal yang begini.”
Tuan
guru menolak kembali pemberian itu, padahal kalau tuan guru menerima, beliau
bisa memperbaiki rumahnya yang sudah mulai rapuh ini dengan membangun rumah
mewah. Tapi sepertinya tuan guru tidak berkeinginan untuk bermewah-mewahan.
Selang
lima hari kemudian, Gus muroqib mendatangi kediaman tuan guru pada pagi hari.
Sepertinya tuan guru telah mengenalnya, beliau segera mempersilahkan Gus
Muroqib masuk dan langsung menyuruhku membuatkan kopi.
“bagaimana
kabar abahnya gus, sudah lama saya tidak bertemu dengannya,” kata tuan guru
memulai pembicaraan.
“alhamdulillah,
abah sehat tuan guru, sekarang ada di rumah” jawab Gus Muroqib.
“alhamdulillah
kalau begitu, ayo diminum kopinya”
Setelah
menyeruput kopi, Gus Murokib mengungkapkan tujuan kedatangannya.
“kedatangan
saya kesini disuruh abah untuk menghadap tuan guru terkait dengan suksesi
pemilihan kepala daerah. Saya diminta mendengarkan pendapat dari tuan guru
tentang pencalonan saya sebagai kepala daerah.”
“kalau
kamu jadi bupati, lantas siapa yang akan mengurus santri-santri di pesantren
itu, sedangkan abahmu sudah sepuh. Sudahlah, kamu gak usah ikut-ikutan nyalon
bupati, mengayomi umat secara kultural itu lebih penting. Pendapat saya, ya
gagalkan saja pencalonan kamu.”
“tapi
beberapa orang menyuruh saya untuk maju, dan kalau saya mengundurkan diri
sepertinya sudah terlambat, saya harus tetap maju tuan guru.”
“kalau
misalkan kamu maju dan saya dukung, kemudian terpilih, apa yang akan kamu
berikan pada saya?”
“apapun
yang tuan guru minta akan ku berikan.”
“owh
ya sudah terserah kamu pilih yang mana, yang jelas itu pendapatku, salam sama
abahmu”
Gus
muroqib pulang seperti tiada menemukan jawaban dan dukungan.
Tiga
hari kemudian, Shima, calon kepala daerah yang cantik nan bahenol itu
mendatangi kediaman tuan guru dengan beberapa pengawalnya.
Hatiku
berdebar melihat wajah asli Shima, selama ini aku hanya melihat poster
gambar-gambarnya yang berjejeran di jalan. Aku khawatir, semoga tuan guru tidak
tergoda dengan setiap tawaran yang diajukan oleh kandidat perempuan yang cantik
menawan ini.
Kali
ini yang memulai pembicaraan adalah Shima sendiri.
“tentunya
tuan guru sudah paham dengan kedatangan kami, kami bersedia memberikan apa saja
yang tuan guru inginkan, tidak hanya uang, kami juga sudah mempersiapkan kursi
di pemerintahan buat tuan guru jika berkenan. Tuan guru juga sudah paham, jika
sekarang keadaan memaksa kita berbuat seperti ini, tanpa ini semua, kita tak
bakal bisa meraih apa yang kita inginkan. Kami sadar ini jalan yang salah,
namun jalan yang salah ini akan mengantarkan kami pada tempat yang benar.”
“ya
saya paham tentang itu, sekarang, apa yang ditawarkan oleh bu Shima pada saya?”
tanya tuan guru
“jika
tuan guru bersedia mendukung kami, ini hanya bagian kecil hadiah dari kami,”
jawab Shima sambil memberikan kunci mobil dan amplop.”
“lo
ini kunci mobil, saya sudah punya mobil, uang pun juga ada, kalau saya ambil
mau diapakan mobil saya. Gak usah repot-repot bu Shima, kalau hanya harta, insyaallah
harta saya cukup hingga tujuh turunan. Kalau memang bu Shima dikehendaki
oleh sang penguasa untuk menjadi pemimpin, pasti akan jadi. Tak perlu dukungan
dari siapapun,”
Merekapun
pulang seperti tamu-tamu yang pernah datang sebelumnya, tak mendapatkan jawaban
yang diharapkan hingga pada detik-detik menjelang pelaksanaan pemilihan.
***
Pada
malam hari yang begitu sunyi, hanya terdengar sayup-sayup desiran ombak di
pantai, aku dipanggil menghadap tuan guru ke dalem. Hatiku berdebam, barangkali
karena aku telah lancang menguping segala pembicaraan tuan guru, kalaupun
memang karena itu, aku siap mendapat hukuman apapun, menanggung resiko dari
segala perbuatanku.
“apa
yang kau lihat adalah pilihanku terhadap kekuasaan. Aku tak memilih siapapun
dari mereka, sebab aku tak mau mengadu domba para pendukung yang tak tau
apa-apa. Dan bila seorang alim menjadi penguasa, maka hilanglah kealimannya
terkalahkan oleh kekuasaan.”
dimuat di Radar Jember
EmoticonEmoticon