Untuk menjadi
kepala desa, harus membayar mahal. Setiap suara harus ditukar rupiah. Usai
terpilih uang rakyat di korupsi.
DESA sebagai
akar dari demokrasi, ‘terlupakan’ dari perhatian pemerintah pusat. Terbukti
dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades), tak ada dana yang
dianggarkan oleh pemerintah. Para calon di ‘paksa’ untuk membayar biaya
pelaksanaan Pilkades. “Itulah kondisi yang terjadi di desa saat pelaksanaan
Pilkades. Calon dibebankan untuk membiayai Pilkades dengan dibantu dana desa
dan daerah,” jelas Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE), Rosiki.
Seharusnya
pemerintah pusat juga memikirkan alokasi dana untuk Pilkades. Karena Pilkades
itu, juga amanat konstitusi. Tidak hanya pemilihan Gubernur dan kepala daerah
yang harus di danai pemerintah. “Sebenarnya dana Pilkades yang dibebankan
kepada calon itu adalah paradigma yang keliru. Karena hadirnya pemerintahan di
level desa bukan keinginan masyarakat. Tapi karena mandat konstitusi,”
jelasnya.
Seharunya,
segala biaya penyelenggaraan Pilkades juga diatur oleh pemerintah pusat. Akibat
tak dibiayai pemerintah pusat, tak jarang pesta demokrasi desa itu malah
menjadi ajang bisnis bagi oknum pemerintah daerah. “Kalau calon sudah diperas,
jangan salahkan jika terpilih, malah rakyat yang jadi mangsa,” katanya.
Pilkades yang
merupakan jikal bakal munculnya sistem demorasi local, sering terciderai oleh
beberapa praktik menyimpangan. Hal tersebut diakui Bambang Sutrisno, anggota Badan
Perwakilan Desa (BPD), di Desa Cermee, Kabupaten
Bondowoso, Jawa Timur.
Menurutnya, tak
jarang dalam pemilihan kepala desa, marak politik uang. Tradisi di masyarakat,
sudah terbangun ucapan “tongket: settong seket, (satu suara lima puluh
ribu). Tradisi tersebut, akibat dari tidak pedulian pemerintah pusat pada proses
Pilkades yang menjadi akar munculnya demokrasi.
Pilkades, yang
merupakan salah satu instrumen terbentuknya demokrasi lokal, jelas Bambang,
seharusnya masyarakat mendapatkan nilai-nilai pendidikan demokrasi di dalamnya.
Mislanya, bagaimana masyarakat bisa memilih pemimpin yang sesuai dengan hati
nurani masyarakat setempat. “Tidak memilih karena ada duit,” katanya.
Sementara itu,
menurut Mas’ud Said, yang kini menjabat sebagai Asisten Staf Khusus Presiden bidang
pembangunan daerah dan otonomi daerah, bahwa demokrasi lokal itu tumbuh dari
proses pemilihan kepala desa. Hal itu sudah ada sebelum Indonesia terbentuk, yakni
antara tahun 1920 hingga tahun 1945.
Pilkades, sebagaimana
tercantum dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 2005
tentang desa, dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari warga setempat, yang
dibentuk oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). “Proses demikian harus berlangsung
secara demokratis. Jangan malah mencederai proses demokrasi lokal,” katanya.
Melihat kondisi
tersebut, Airlangga Pribadi, pengamat politik dari Universitas Airlangga
(Unair) Surabaya, praktik politik uang memang marak saat Pilkades. Mengapa
demikian? Karena tidak ada transparansi dan keterbukaan. “Akhirnya, pelaksanaan
dan sistem Pilkades jalan sendiri. Tanpa ada aturan yang mengontrolnya,”
jelasnya.
Berbeda dengan Sekretaris
Asosiasi Kepala Desa (AKD) se-Jawa Timur, Muhammad Muzammil. Ia menilai bahwa praktik
korupsi yang terjadi di desa merupakan salah satu dampak dari maraknya kasus
korupsi pada tingkat daerah, provinsi maupun nasional. “Terjadi politik uang di
desa, setiap akan Pilkades, tanpa disuruh rakyat menjual suaranya. Karena
masyarakatnya masih belum paham apa demokrasi,” katanya.
Kedepannya,
tugas pemerintah, mulai dari daerah hingga pusat, tidak melupakan proses
demokrasi di level desa. Harus terselamatkan dari politik uang. Bagi calon
kepala desa, juga harus tidak membeli suara rakyat dengan uang.
Jika masyarakat
tak dididik dengan politik uang, secara berlahan akan memahami apa makna
demokrasi yang sebenarnya. “Untuk di seluruh desa di Jawa Timur, saya lihat dan
saya amati, masih sangat rendah warga yang melek politik dan demokrasi,” aku
Bupati Bondowoso, Amien Sa’id Husni, saat ditemui ALFIKR awal Oktober lalu.
Sementara itu,
menurut Umami, Ketua Forum Komunikasi antar Kepala Desa dan Aparat Desa (FOKAP)
Kabupaten Situbondo, untuk memberikan kesadaran nilai-nilai demokrasi,
masyarakat harus terus diberikan pemahaman demokrasi di level desa. “Tanpa
pendidikan, memahaman demokrasi akan tetap rendah,” nilai Umami.
Seharusnya kata
Umami, dari beberapa permasalah yang melanda masyarakat, harus menjadi
perhatian khusus bagi pemerintah agar memberikan pemahaman yang utuh tentang
demokrasi. “Karena desa merupakan struktur terkecil dari pemerintahan.
Seharusnya desa menjadi ujung tombak dalam melayani masyarakat,” katanya.
Siapa yang
bertanggungjawab memberikan pemahaman demokrasi di desa? “Tugas itu adalah tugas pemerintah desa, tokoh masyarakat
dan peran aktif pemerintah daerah hingga pusat. Serta masyarakat sendiri.
Jangan kemudian, Pilkades yang hanya di level desa di remehkan oleh pemerintah.
Karena demokrasi berangkat dari tradisi di desa,” katanya.
“Sebenarnya konflik antar warga desa pasca Pilkades
itu merupakan tanggung jawab bersama. Bukan hanya pemerintah desa dan
kepolisian. Tapi semua masyarakat ikut bertanggungjwab,” kata perempuan yang
juga menjabat sebagai anggota Pusat Parade Nusantara (Persatuan rakyat desa). Bagus Supriadi
ALFIKR/NO.22 Muharrom-Jumadil Akhir 1434H
EmoticonEmoticon