LUMRAH terjadi dalam dunia pesantren, beberapa santri berebutan untuk merapikan sandal
kiai, dengan harapan mendapat barokah dari kiai tersebut. Secara umum barokah
dimaknai dengan ziyadatul khoir (bertambahnya kebaikan). Dengan harapan,
apa yang dilakukan tersebut mendapat ilmu yang bermanfaat perantara merapikan
sandal tersebut.
Asta,
begitulah santri menamakan tempat pesarean seorang kiai, setiap harinya tak
pernah sepi dari para peziaroh untuk mengaji maupun berdzikir. Seringpula kita
mendengar bahwa besarnya pengaruh seseorang dapat dilihat seberapa besar
peziaroh yang mendatangiya dikala beliau sudah menghadap tuhan.
Merapikan
sandal tidak hanya dilakukan pada sosok seorang kiai, namun, di asta juga
sering terjadi. Terlebih pada malam hari, ketika selesai mengaji atau
berdzikir, kita menemukan sandal sudah rapi dan siap pakai.
Hal
ini membuat saya terenyuh dan timbul rasa ikhlas untuk mendoakan orang yang
tidak saya ketahui telah merapikan sadal saya, dengan doa semoga diberi
kesuksesan karena telah merapikan sandal. Beberapa cerita yang pernah saya
dengar, orang yang merapikan sandal tersebut kelak ketika pulag kemasyarakat,
mereka ditokohkan.
Saya
ingin mencoba untuk merapikan sandal milik orang lain yang ada diasta, tapi
masih ada keengganan, apakah karena ego yang masih tinggi ini. setiap kali saya
hendak merapikan sandal, seperti ada yang menahan dan bertanya, “mengapa saya
harus melakukan ini?”.
Suatu
malam yang teramat sunyi, saya meluluhkan ego yang menurut saya telah menahan
untuk berbuat hal diatas. Ketika saya merapikan, ada energi yang sepertinya
telah meluluhkan rasa ego yang selama ini terpendam.
Dalam
perjalanan pulang, timbul pertanyaan yang menganggu benak, apa yang telah
menjadi tabir dari manusia yang hina sehingga ia menjadi sombong. Mengapa hanya
untuk menjadi membalikkan sandal orang lain begitu berat, terasa seperti ada
gengsi. Pertanyaan yang masih belum tuntas.
Selang
beberapa hari kemudian, dalam perbicangan kecil dengan teman santri, kita
menceritakan tentang sosok santri yang sudah pulang kemasyarakat. Sebut saja
namanya Ahmad, semenjak belajar di pesantren, ia sangat nakal bahkan
kenakalannya sampai kepada melanggar aturan agama. Anehnya, ketika pulang
kemasyarakat, Ahmad menjadi tuan guru (sebutan kiai di pulau Lombok).
Saya
bertanya, “barokah mana yang mereka dapatkan dari pesantren, jika perjalanannya
dipesantren seperti itu”, temanku menjawab “kata ustadz saya, kalau jadi orang
nakal nakal sekalian (total), kalau jadi orang alim, alim sekalian”
Ah
saya rasa ini bukan jawaban, aku mencari jawaban yang menggelisahkan ini, kalau
mereka yang nakal sudah jadi seperti itu, bagaimana dengan yang tidak nakal,
bagaimana dengan mereka yang megabdi. Namu, tak jarang juga, mereka yang
mengabdi, tak ditokohkan. Mengapa?
Barangkali
dalam pesantren, kita tidak bisa meremehkan hal yang sekecil apapun, merapikan
sandal milik orang lain merupakan hal yang kecil tapi bernilai besar,
barangkali barokah itu muncul dari ketulusan doa yang mereka panjatkan tatkala melihat sandal mereka
yang sudah siap pakai. Wallahu a’lam bis showab…
EmoticonEmoticon