Radar Bromo, Minggu 11 November 2012
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,
tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. (Bung
Karno)
Peristiwa sepuluh November merupakan saksi sejarah dari semangat
nasionalisme, mempersatukan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) saat kota
Surabaya dijajah oleh Belanda. Tidak hanya warga Surabaya yang melakukan
perlawanan terhadap belanda, organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama’ (NU)
dibawah pimpinan Hadratus Syeikh KH. Hasyim asy’ari mendeklarasikan resolusi
jihad, yakni kewajiban melawan penjajah.
Perlawanan semakin
memuncak ketika terbunuhnya Jendral Mallaby, pimpinan dari Inggris untuk daerah
Jawa Timur pada 30 Oktober 1945.
kematian Mallaby menyebabkan Inggris marah kepada Indonesia dan mengeluarkan
ultimatum 10 november 1945 dengan pimpinannya yang baru untuk meminta Indonesia
menghentikan menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan.
Bung Tomo, pemimpin
revolusioner Indonesia dan para kyai di Jawa Timur seperti KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Wahab Hasbullah mengerahkan santri dan masyarakat sipil untuk melawan
penjajah. Bung Tomo dengan suaranya yang
lantang berkata;
saoedara-saoedara lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.
Sembojan kita tetap: Merdeka atau Mati. Dan kita jakin, saoedara-saoedara,
pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita, sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar, pertjajalah saoedara-saoedara, Toehan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!.
pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita, sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar, pertjajalah saoedara-saoedara, Toehan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!.
Memaknai perlawanan
Perlawanan Bung Tomo beserta pra kiai tersebut terjadi 66 tahun yang lalu. Umur yang
sudah bisa dibilang dewasa bagi negara kita untuk memetik hikmah dari setiap
kejadian. Sepuluh November, hari yang dikenang sebagai hari pahlawan oleh
republik Indonesia merupakan cerminan sejarah agar kita sejenak kembali ke masa
lalu, merenungi sejarah tentang arti sebuah perlawanan, nasionalisme,
patriotisme dan semangat mempertahankan
NKRI.
Di saat negara ini sedang diuji dengan beberapa
tindakan radikalisme, praktek korupsi oleh elit politik, kita semakin menjauh
dari kemerdekaan yang bersifat pemberdayaan sumber daya alam (SDA) dan sumber
daya manusia (SDM). Semboyan Bung Tomo merdeka atau mati
harus tetap menjadi landasan berpikir kita, merdeka dari korupsi, separatisme,
kemiskinan dan melek huruf.
Indonesia perlu belajar dari sejarah, terlebih
pada para birokrat yang mengaku memperjuangkan kemerdekaan rakyat dari
kemiskinan, kebodohan, mengingat penilaian masyarakat, 75,7 persen pemimpin,
elit politik lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya dari
kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan (jajak pendapat kompas, 7
november 2011).
Membaca kembali makna perlawanan tidak sesempit yang pernah terjadi dalam
sejarah Indonesia, yakni harus dengan perang mengangkat senjata, namun yang perlu
kita lawan adalah ketidakadilan dan korupsi.
Ketimpangan sosial yang terjadi membuahkan sesuatu yang tidak kita
inginkan, radikalisme, separatisme, dan tidak menutup kemungkinan Indonesia kembali
pada sejarah yang telah terjadi, terpecah-belah oleh beberapa kelompok, misal
Aceh dan Jawa Barat.
Bung karno pernah berkata “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Belanda, Jepang atau Inggris 67 tahun yang lalu telah meninggalkan
Indonesia. Namun bukan berarti negara ini telah terlepas oleh penjajah. Negara
ini masih dijajah oleh para koruptor yang merampok uang rakyat, para penegak hukum yang bengkok,
para birokrat yang sangat peduli dengan kepentigan pribadi. Memang lebih sulit
mengusir penjajah yang lahir di negeri sendiri dan menciptakan kekuasaan sendiri.
Siapa yang bisa melawan para penjajah setelah Indonesia
merdeka? Jika bung karno pernah berkata; “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya
akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan
kuguncangkan dunia.” para pemuda, terlebih yang berstatus sebagai agent of
change mempunyai peran besar untuk melanjutkan kemerdekaan Indonesia dan meneruskan cita-cita
para pendiri bangsa (founding fathers) melalui beberapa organisasi yang
mengatasnamakan pergerakan, bergerak menciptakan perubahan dengan semangat
nasionalisme.
Melawan tidak berupa dengan tindakan anarkisme
yang meresahkan warga, melawan tidak pula dengan sembunyi sambil membawa
rakitan bom. Namun, yang perlu kita lawan terlebih dahulu adalah keberanian
untuk terus menghilangkan penindasan. Sebab keberaniah hilang melihat suap yang
merajalela, keberanian lenyap karena tidak memiliki karakter yang kuat. Dapat
dihitung dengan jari orang yang bisa dikatakan pemberani.
Bukankah para pendiri negara ini berbekal
keberanian, dengan menggunakan senjata bambu runcing, tidak cukup masuk akal
melawan senapan para penjajah. Karena keberanian telah menjadi pondasi awal
dalam melawan ketidakadilan, mundur satu langkah adalah sebuah pengkhianatan.
Mempertanyakan Pemuda
Perkumpulan Budi Utomo yang diakui sebagai
permulaan kebangkitan nasional, didirikan oleh para mahasiswa STOVIA tanggal 20
mei 1908. Budi Utomo adalah perkumpulan bumi putra dengan tokoh pendiri Sutomo
pada usia 19 tahun, dan memenuhi syarat
organisasi menurut pengertian barat. Selanjutnya didirikan perkumpulan Tri Koro
Dharmo, selang beberapa kemudian menjelma menjadi Jong Java (perkumpulan pemuda
Jawa). Kebangkitan Jong Java membangkitkan semangat pemuda daerah lain sehingga
muncul Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon. Kemudian bersatu menjadi
perkumpulan pemuda Indonesia tanggal 7 Februari di Bandung. Tidak puas dengan
semangat patriotisme kedaerahan, berubah lagi menjadi perkumpulan Indonesia
Muda (IM) pada bulan Desember 1930 di Surakarta.
Tak Perlu membanding-bandingkan pemuda sekarang
dengan masa lalu, sebagai renungan bagi para pemuda, sejarah telah mengajarkan
peran pemuda dalam membentuk negara indonesia.
Pemuda Indonesia belum siap menerima perkembangan
masuknya budaya barat, hidup di tengah kebebasan semakin menjadikan perilaku pemuda
yang menggantungkan diri pada orang lain. Semakin maraknya pergaulan bebas,
semakin memberi peluang bagi para pemuda untuk menikmati kehidupan yang
hedonis. Tanpa berfikir panjang demi kepentingan yang lebih besar.
Pemuda masa lalu ditengah keterbatasan, baik pada
masa penjajahan, pra kemerdekaan, paska kemerdekaan, orde lama dan orde baru
menjadi tantangan tersendiri untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai
pemuda, yakni menciptakan pembaharuan yang bertujuan menjadikan negeri ini
makmur dan sentosa.
Tragedi Trisakti, Malari, serta tumbangnya rezim Soeharto
merupakan eksistensi peran pemuda. Era reformasi yang memberikan kebebasan
informasi telah menjadikan pemuda tidak perlu melakukan aksi yang serupa dengan
beberapa tragedi yang pernah terjadi. Dengan apakah perlawanan pemuda saat ini?
Pemuda
tetap memaksimalkan perannya sebagai agent
of control pada setiap kebijakan yang bersinggungan dengan masyarakat,
melakukan perannya untuk melawan korupsi, menjaga persatuan NKRI, meneruskan
perjuangan para founding father bangsa.
Setelah 66 tahun lamanya, negara ini sangat
memungkinkan menjadi negara yang makmur, masyarakat yang gemah ripah loh
jinawi. Sebab, pada dasarnya masyarakat bangsa Indonesia memiliki semangat
dan etos kerja yang kuat, toh meskipun mereka bekerja tidak harus di
negara sendiri, slogan lebih baik makan batu di negeri sendiri daripada
makan roti di negeri orang lain telah hilang. Etos kerja yang tidak diimbangi
dengan lapangan yang memadai, membuat kreatifitas masyarakat menurun dan mengadu
nasib di negeri lain.
Kreativitas masyarakat mulai menurun dari produsen
menjadi konsumen, menjadi penonton dari setiap kemajuan. Rasa menggantungkan
diri begitu besar daripada menjadi hidup mandiri. Sempitnya lapangan kerja,
sedikit sekali yang menjadikannya tantangan untuk menciptakan lapangan kerja.
Bisa jadi karena masyarakat belum siap menghadapi perubahan dari agricultural
society, industrial society menjadi informatikal society.
Masalah di atas adalah problem klasik yang belum terselesaikan secara tuntas, tiadakah
beberapa pemuda yang memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang sedang
dialami bangsa ini.
Refleksi keindonesiaan masa kini melalui
peringatan hari pahlawan menjadi hal yang prioritas untuk menumbukan semangat
nasionalisme sejak dini, mengingat karakter para birokrat, politisi yang
seolah-olah hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Refleksi hari pahlawan
Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar pada
sejarah, sejarah telah cukup memberikan pelajaran sangat berharga tentang arti
sebuah perlawanan. dari refleksi timbul kesadaran menjadi karakter kepribadian.
Selayaknya, peringatan hari pahlawan merata pada
segenap masyarakat bangsa, mulai dari yang paling atas hingga yang paling
bawah. Walaupun berbeda cara dalam memperingati, refleksi, atau merayakan,
paling tidak timbul semangat untuk memberikan yang terbaik buat bangsa dan
negara.
Harapan peringatan hari pahlawan agar bisa melahirkan semangat
nasionalisme yang
tidak harus berperang melawan kompeni, namun melawan penjajah di negeri
sendiri. Menjadi pahlawan yang berani melawan ketidakadilan, membela masyarakat
tertindas, dalam arti bukan mereka yang hanya diperangi dengan senjata, namun
moralitas, karakter, patriotisme dan nasionalisme yang secara perlahan telah
terjajah. Wallahu a’lam bis showab...
EmoticonEmoticon