“Sampai kapan
mimpi mimpi itu kita beli?, sampai nanti sampai habis terjual harga diri”. (Mimpi
Yang Terbeli - album 1910
1988)
Aku
melihat seorang tua pada sepertiga malam berjalan dengan tertatih-tatih.
Tenaganya telah terkuras oleh waktu sehingga ia memaksakan diri membawa karung
yang berisi sampah-sampah untuk didaur ulang. Sepertiga malam, dengan senter
ditangannya, ia seperti manusia yang mencari sesuatu yang amat berharga.
Sampau
adzan shubuh berkumandang, ia masih mengelilingi suasana kota yang sepi dari
hiruk pikuk manusia. Karung yang digendongnya masih belum penuh dengan sampah,
dan sepertinya barang berharga yang dicarinya belum didapatkan.
Sementara,
beberapa penghuni rumah di kota tersebut bergiliran satu persatu menuju
musholla, yang tampak dari mereka adalah para orang tua yang tenaganya juga
tergerus oleh waktu, tertatih berjalan menuju musholla. Beberapa orang tua itu
berpapasan dengan dengan si pencari barang berharga. Tak ada sapa dan berlalu
seperti angin.
sampai
tiba waktu pagi, ia berjalan dengan langkah lemah gemulai, pulang kembali
kerumahnya dibawah kolong jembatan. Disana telah menanti istrinya yang juga
baru datang dari mencari sesuatu yang berharga. Di kolong itu, seorang anak
kecil dengan pakain kumuh sedang terlelap.
Saat
matahari memasuki celah-celah gang di kota. Seperti biasa, aku juga melihat
pedagang pentol dan es yang tak pernah berubah. Sejak aku masih di sekolah
dasar sampai menjadi sarjana. Ia tetap dengan gerobaknya yang makin rapuh.
Aku
juga masih melihat, mengapa mereka yang berdagang pentol dan es selama sepuluh
tahun tidak pernah menjadi kaya. Bapak tua yang mengais sampah tak pernah
merasakan tidur yang nyenyak. Anak-anak mereka yang tiap hari diterminal menjajakan
lagu-lagu sumbang tak pernah mengenal huruf-huruf kecuali angka-angka mata uang.
Sampai kapan?
Ironis,
tak ada yang berubah sejak aku meninggalkan kota ini. Yang ada hanya
gedung-gedung baru yang tinggi. Sepuluh tahun lamanya, aku mencari sesuatu yang
tidak ada di kotaku.
Dalam
pencarian sepuluh tahun yang lalu, selalu terlintas dalam bayangku jika apa
yang telah di janjikan oleh para wakil rakyat untuk menyejahterakan masyarakat,
telah menghapus mereka yang buta huruf, membangun rumah-rumah bagi mereka yang
tidur di kolong jembatan. Namun sampai saat ini, masih nihil.
Dalam
pencarian itu pula, aku seperti burung yang terkurung dalam sangkar, tak
memiliki keleluasaan kareran terkurung oleh sistem yang mengikat kakiku untuk
melangkah. Akupun hanya melihat alam dalam kurungan yang tak lepas.
Hanya
pikiranlah yang mencoba melepas segala penat yang membelenggu diri. Bermain di
alam yang tak pernah tersentuh. Selalu mencari dalam ketidaktahuan. Apa
mungkin.
Mimpiku
masih sebatas bangunan yang tak pernah rampung. Hanya ada batu bata yang selalu
tertindih oleh tetesan hujan yang semakin mengerusku menjadai tanah. Untung saja
aku masih punya mimpi. Mimpi yang takkan pernah terjual dan terbeli.
Dalam
pencarian ini, aku masih setetes diantara samudramu, dan tulisanku masih belum selesai...
EmoticonEmoticon