dimuat di Radar Bromo, Minggu 01 Juli 2012
Kau tahu kenapa aku
menyayangimu lebih dari siapapun, karena dirimu sederhana. Sikapmu, wajahmu,
bibirmu, senyummu, matamu, bahkan semua yang melekat pada tubuhmu tampak
sederhana. Tak heran jika aku ingin memilikimu dengan sepenuh hati sebab takkan
ada pria yang melirikmu setajam elang. Dan perempuan sederhana sepertimu tak
bisa membuatku cemburu.
Kali ini aku takkan salah
memilih perempuan sepertimu, lelaki penuh pertimbangan sepertiku sudah terlalu
lama mempertimbakan perempuan. Kau tahu, mempertimbangkanmu untuk berada di
sisiku membutuhkan waktu yang tidak sebentar, aku harus bertanya pada orang bijak
tentang dirimu yang sederhana. Sebab aku tak boleh gegabah lantaran aku
ingin menjadikanmu perempuan terakhir yang aku pertimbangkan.
****
Suatu hari aku datang pada
kiai Jamal dan menceritakan dirimu, perempuan sederhana. Kemudian aku meminta
pendapatnya.
“memilih perempuan itu seperti mendatangi toko, memilih pakain yang cocok
untuk si pembeli. Jika dia ingin pakain yang bagus, tentu harganya juga mahal.
Dan memilihnyapun tak bisa gegabah. Ada pakain yang bagus dan harganya sudah
sesuai namun pakaian itu terlalu besar. Ada yang warnanya cocok dan ukuran
sesuai dengan tubuh si pembeli namun setelah didapat dan menjadi milik pribadi,
pada kenyataannya setelah dipakai satu atau dua minggu pakain tersebut luntur
warnanya. Ada juga yang sudah sesuai dengan ukurannnya, warnanya dan harganya,
tapi terlalu kecil sehingga kalau dipaksakan tidak akan bertahan lama. Ya
seperti itulah memilih perempuan”.
“lantas perempuan yang aku sebutkan tadi termasuk yang bagaimana kiai?
Soalnya dia adalah perempuan terakhir diantara banyak perempuan yang telah aku
pertimbangkan sekian lama” tanyaku penasaran.
Kiai diam sejenak berfikir
dan memejamkan mata, barangkali ia bisa menembus hal yang tak tampak oleh kasat
mata, atau yang seringkali dikenal dengan nama mukasyafah, ngerti sak
durunge winarah. Aku menatapnya dengan penuh tanya.
“perempuan itu hitam maniskan!”
Aku terkejut dan menjawab
“ia pak kiai”
“Sepertinya postur tubuhnya tidak terlalu jauh tinginya dengan dirimu”
tambahnya dengan mata tetap terpejam.
Aku segera menjawab
“benar kiai”
Ternyata aku tak salah mendatangi seorang yang
bijak, ia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Sepertinya perempuan sederhana ini memang benar-benar tepat sebagai teman
hidupku sampai ajal menjemput.
“apa yang kau suka
darinya, bukankah perempuan itu tidak berkulit putih”
“aku suka dengan
kesederhanaan yang ada pada perempuan itu kiai” jawabku.
“sepertinya kau harus
berada di atas angin, dan aku tidak bisa menebak apa dan bagaimana seharusnya,
cobalah kau bertanya pada seseorang yang lebih mengerti. Kau boleh pulang
sekarang.”
Aku pulang dengan perasaan
yang sedikit lega dan sedikit tanya, perasaan lega karena aku mengira kau
memang perempuan yang ditakdirkan untukku, dan tanya itu karena kiai yang
kudatangi belum bisa memastikan bagaimana sebenarnya dirimu, serta aku tidak
bisa mengartikan makna perkataan kiai bahwa aku harus berada di atas angin.
“ah biarlah, kiai salah jika berbicara hal yang abstrak seperti itu padaku,
aku tidak paham dan tak perlu memikirkannya”. Ucapku dalam hati
Kesederhanaanmu sudah bisa
meyakinkanku untuk memilikimu. Jika dihitung-hitung, sembilan puluh persen kau
adalah baju yang cocok untuk kupakai. Aku sudah tahu dirimu, aku tahu
keluargamu, aku juga tahu tempat tinggalmu. Ya kaulah pakainku, perempuan
sederhana.
Meskipun keyakinan telah
mendominasi dalam diriku, aku tetap tak ingin gegabah, sebab walau bagaimanapun
kau adalah perempuan terakhir yang aku pertimbangkan diantara sekian banyak
perempuan.
Sekali
lagi Aku mencari seseorang yang bijak untuk ku mintai pendapat tentang
perempuan sederhana sepertimu. Tentang keluargaku sendiri, aku tak perlu
khawatir, karena mereka telah memasrahkan semuanya padaku, hanya saja catatan
dari orang tuaku, perempuan manapun yang aku pilih adalah perempuan yang mampu
menemani lelakinya dalam keadaan apapun serta faham tentang agama, itu saja!
***
“masak aku harus mendatangi dukun, masak ia orang
bijak, ah tak apalah, aku hanya ingin minta pendapat tentangnya, jika ada
baiknya aku ambil, jika tidak biarkan saja pendapatnya mengalir dan tak perlu
ku hiraukan”.
Saran
temanku untuk mendatangi seorang dukun aku iyakan. Aku berangkat setelah
matahari terbenam, rumahnya tidak seangker yang ada dalam bayanganku, di
halaman rumahnya terdapat taman yang indah dan kolam ikan, sepi memang, hanya
suara air yang memancur pada kolam ikan tersebut menandakan adanya kehidupan,
rumahnyapun tidak tampak remang-remang, terlihat terang dengan cahaya lampu di
ruang tamu.
“ah dukun ini pasti dukun modern” pikirku.
Didalam rumah, berderet beberapa lukisan perempuan
yang penuh misteri, mengapa misteri? Lantaran tak ada yang aku mengerti dengan
setiap lukisan yang terpajang, hanya lukisan yang seperti coretan belaka. Aku
menilai, sepertinya ini bukan rumah seorang dukun, tapi rumah seniman atau
pelukis, tampaknya temanku sudah salah menunjukkan seseorang.
“perempuan sederhana seperti apa yang kau
maksudkan mas?” tanya dukun tersebut.
“maksud saya, saya suka dengan bedak diwajahnya
yang sederhana, lipstik di bibirnya yang sederhana, cat penghitam alisnya yang
juga sederhana, serta cara berpakainnya yang sederhana, bahkan semua yang ada
dalam tubuhnya tampak sederhana. Sehingga saya berpikiran perempuan sederhana
seperti dia tidak akan membuat saya cemburu pada lelaki lain” Jelasku padanya.
Setelah aku menjelaskan, dukun itu masuk kedalam
kamarnya dalam waktu yang cukup lama. Aku menunggunya sambil merenungi setiap
lukisan yang terpajang. Deretan lukisan itu berakhir pada pintu masuk kedalam
ruang kamar, aku terhenti dan mulai berpikir apa sebenarnya yang sedang
dilakukan dukun itu. Pikirku, ia sedang membaca mantra pada bola ajaib yang ada
dikamarnya, atau sedang membakar kemenyan dan membuka keris sambil komat kamit
membaca mantra.
“Ah sebenarnya dia dukun atau seniman sih”
kesalku.
Tiba-tiba dukun itu keluar dengan membawa kitab
dan buku.
“ah ini memang bukan dukun, tapi seniman” tambahku
dalam hati.
Ia duduk kembali dan membuka kitab yang sepertinya
sudah lama dimilikinya, ia memakai kaca mata yang dibawa dari kamarnya. Ia
mengamati buku itu dengan cermat seperti sedang mencari isi pokok dari kitab
tersebut.
“perempuan itu misteri mas, seperti lautan,
bertanya tentang perempuan sama saja kau bertanya pada ikan tentang laut. Ikan
walaupun hidupnya bertahun-tahun di laut tetap saja tak bisa merasakan laut itu
asin. Sekali lagi perempuan itu misteri mas, kalau dibilang mutiara, sepertinya
sulit untuk mendapatkan yang sebenar-benarnya mutiara. Tapi...
“tapi apa pak” sanggahku
“tapi agama memberikan kriteria terhadap perempuan”
pikirnya sejenak dan meneruskan
“barangkali perempuan sederhana yang dimaksud jika
di urut dari awal adalah perempuan yang menonjol agamanya, dalam artian
mengerti dan paham serta sadar dalam beragama, khususnya menfungsikan dan
memposisikan dirinya sebagai perempuan dihadapan lelaki. Kedua, ia memiliki
nasab yang tak terkotori oleh apapun, maksudnya ia keturunan dari keluarga yang
baik. Tentunya kau tidak ingin memetik
mawar yang tumbuh di tanah tempat kotoran hewan, bukan!”
“Maksudnya pak” sanggahku.
“begini, ini masuk urutan yang ketiga, perempuan
yang cantik, Zaman sekarang siapa yang tidak melihat perempuan cantik, di
pasar-pasar, di jalanan, bahkan di desa yang terpencil sekalipun, perempuan
sekarang sudah sangat pandai menghias diri, jadi kalau mencari perempuan cantik
tidak terlalu repot. Hanya saja jika diibaratkan mawar, tak sedikit mawar yang
tumbuh di tanah tempat kotoran hewan, begitu juga dengan perempuan, tak sedikit
pula perempuan cantik yang terlahir dari rahim yang tidak jelas, dari hasil
perselingkuhan, dari benih janin yang diberi makan uang haram misalkan. Itu
yang kumaksud dengan ibarat bunga mawar tadi”.
Aku mengangguk-angguk, terpana dengan penjelasan
dukun yang menurutku seorang seniman yang telah menyelami samudra perempuan.
Kemudian ia melanjutkan
“dan yang keempat adalah materi atau uang. Selain
ketiga hal diatas, agama juga menambahkan kekayaan yang dimiliki perermpuan
yang seharusnya menjadi pilihan lelaki. Mengapa uang? Sebenarnya yang ke empat
ini sebagai pelengkap. Hanya saja jika ada yang memiliki segalanya, mengapa
tidak! Logikanya, jika kau memiliki seorang perempuan yang secara finansial
sudah mapan, kau tidak terlalu repot mengurusi dunia dengan mencari uang.
Tentunya ada kemudahan bagimu jika ada modal yang hendak dijalankan, kau tak
perlu mencari, tinggal meneruskan dan
mengembangkan”.
Aku puas dengan jawaban yang diberikan dukun alias
seniman ini, hanya saja masih ada satu pertanyaan yang menggelisahkan.
“kalau perempuan memilih lekaki bagaimana pak”
“ini yang juga cukup luas, aku sebagai lelaki
tidak bisa menilainya terlalu banyak, barangkali juga tidak terlalu jauh dengan
yang kusebutkan tadi. Namun, perempuan sekarang sepertinya dalam memilih lelaki
lebih kepada yang nomor empat atau materi. Walaupun ini tidak seluruhnya, namun
kau bersiap saja menyediakan segalanya. Aku tahu manusia itu butuh hidup
bersama dengan perempuan, sebab kesendirian terkadang menimbulkan kebimbangan
dan kegelisahan. Tapi sederhananya kalau kau menginginkan perempuan seperti Sayyidah
Fathimah paling tidak kau harus seperti Sayyidina Ali, kalau menginginkan
perempuan seperti Fatmawati kau harus seperti Soekarno”.
Sepertinya ini sudah cukup sebagai pertimbangan
dalam memilih perempuanmu, tak perlu ku jelaskan makna dari setiap tubuh
perempuan, setiap anggota badan yang melekat padanya memiliki isyarat yang
cukup erotis. jika aku terangkan sepertinya kau tidak akan memilih. Dan
sepertinya kau akan tetap dalam pertimbangan walau sudah berkepala empat.
***
Seniman alias dukun itu semakin membuatku bingung,
aku butuh satu orang bijak lagi untuk kumintai pendapat tentang perempuan
sederhana, tapi siapa, cukup lama aku memutar otakku, akhirnya kutemukan wajah
seseorang terlintas dalam pikiran.
“barangkali pak erik, guru besar filsafat sewaktu
aku masih kuliah”.
Aku mendatangi kediamannya
“sejatinya bahagia bukan berarti memiliki semua yang kita cintai, namun
bahagia itu mencintai semua yang kita miliki. Kalau kau mencintai perempuan
itu, kau selayaknya mengeri konsep having and being (memiliki dan
menjadi). kalau modus cintamu having, maka termasuk cinta yang
menindas. Mengapa? Sebab mencintai atas dasar “ingin memiliki” akan mati-matian
menutupi segala keburukan dan kekurangan dalam diri. Namun setelah sang pujaan
kau miliki lambat laun tabir keburukannya akan terungkap. ia akan bersikap
sewenang-wenang dan memaksa, “sekarang kau milikku sepenuhnya, maka akulah yang
berkuasa atas dirimu”.
“berbeda jika mencintai dengan modus being.
Cinta dengan proses menjadi adalah cinta yang “membebaskan” dan penuh
toleransi. Mengapa? Karena kekurangan dalam diri perempuan akan dilengkapi
dengan kelebihan si lelaki, begitu juga dengan kekurangan lelaki akan di tutupi
oleh kelebihan si perempuan. Dan perjalanan cinta akan langgeng karena telah
menyatu antara kekurangan dan kelebihan”.
***
Aku pulang dengan keyakinan yang semakin
berkurang. Wajah, senyum serta tubuh Perempuan sederhana itu terlintas dalam
benakku.
“perempuan
sederhana” aku mempertanyakan kembali perempuan sederhana itu. Kini aku terpaku
dalam pertimbangan lagi. Padahal aku ingin menjadikan perempuan sederhana itu sebagai
perempuan terakhir untukku.
Aku mengira-ngira dan menilai perempuan sederhana
itu sesuai dengan yang dikatakan oleh dukun alias seniman tadi. Cukup lama aku
memejamkan mata dan merekam jejak perempuan sederhana. Aku mereka-reka dari keempat hal tersebut telah ada pada
dirinya. Namun aku belum bisa meyakinkan yang kedua.
“ah semoga saja kau adalah mawar yang memang
tumbuh di taman bunga, bukan diatas kotoran hewan”
Begitupula aku benar-benar menghayati perkataan
pak Erik. Hingga pada akhirnya aku putuskan jika kau adalah perempuan sederhana
yang memang diciptakan untuk menemani hari-hariku sampai penghujung usiaku.
***
Tiga bulan telah terlewati selepas masa
perkawinanku dengan perempuan sederhana. Aku memang tak salah memilih perempuan
itu, aku merasakan jika dia memang perempuan terakhir dari sekian
pertimbanganku.
Setahun telah berlalu, aku dan perempuan sederhana
memiliki kesibukan masing-masing. Aku bekerja sebagai pegawai negeri di salah
satu pemerintahan sedangkan istriku, si perempuan sederhana bekerja pada salah
satu majalah perempuan. Satu bulan, dua bulan aku menanggapi pekerjaan istriku
dengan hal yang biasa. Sebab rumah tanggaku tetap harmonis meskipun belum
dikaruniai momongan.
Hanya saja aku tak habis pikir setelah usia
pernikahanku berumur satu tahun setengah, aku begitu terpukul melihat wajah,
senyum, dan tubuh istriku yang dulu ku anggap sederhana dan tak akan membuatku
merasa cemburu karena tak akan ada lelaki lain yang meliriknya. Kini tengah
telanjang pada lembaran-lembaran majalah tempat ia bekerja.
April
2012
EmoticonEmoticon